BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tempat pelayanan
kesehatan merupakan salah satu tempat umum dimana seluruh kalangan masyarakat
akan berinteraksi disana. Diantaranya seperti Rumah sakit, Puskesmas, Klinik,
dan lain-lain. Rumah sakit (hospital) adalah sebuah institusi perawatan kesehatan
profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat,
dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Beberapa pasien bisa hanya datang untuk diagnosis
atau terapi ringan untuk kemudian meminta perawatan jalan, atau bisa pula
meminta rawat inap dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Rumah sakit
dibedakan dari institusi kesehatan lain dari kemampuannya memberikan diagnosa
dan perawatan medis secara menyeluruh kepada pasien.
Di tempat pelayanan
kesehatan seperti itulah batasan antara laki-laki dan perempuan menurut islam
akan dikesampingkan. Maksudnya dikesampingkan pada kalimat barusan adalah
kaburnya hijab antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ini. Dapat kita
lihat di tempat pelayanan kesehatan bahwa baik dokter, perawat ataupun petugas
pelayanan kesehatan lainnya akan melakukan berbagai interaksi dengan pasien.
Tindakan-tindakan tersebut merupakan serangkaian prosedur yang mesti dijalani
menurut profesi masing-masing. Diantaranya seperti dokter atau perawat yang
harus melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasiennya yang pastinya harus
menyentuh tubuh pasien, melakukan injeksi (suntikan) dibagian tertentu yang
kadang harus mmbuat pasien membuka pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan kadang
dokter atau perawat harus memegang alat vital dari kliennya untuk berbagi
keperluan seperti pada pemasangan kateter atau operasi pada bagian tersebut
yang tidak jarang bahwa petugas medis yang berlainan jenis kelaminlah yang
melakukan tindakan tersebut.
Sedangkan yang kita
ketahui bahwa islam melarang hamba-hambaNya untuk menjaga dirinya dari orang
yang bukan muhrimnya. Selain itu juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Andaikan ditusukkan ke kepala salah
seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik
daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya".
[Thabrani dalam Kitab Al-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan]. Jadi
sebenarnya bagaimanakah pandangan islam mengenai fenomena yang ada di tempat
pelayanan kesehatan ini. Suatu kondisi yang sangat tidak mungkin untuk
ditinggalkan sebab keurgentannya.
I.2 Rumusan Masalah
a. Mengetahui perintah islam
untuk menjaga diri dan hijabnya terhadap non muhrim
b. Mengetahui fenomena yang ada di tempat pelayanan kesehatan saat ini
c. Mengetahui pandangan islam terhadap fenomena dalam dunia kesehatan
d. Mengetahui Kode etik kedokteran dan sifat-sifat yang harus dimiliki tenaga medis
I.3 Tujuan
Permasalahan
Bagaimana sosok
seorang tenaga medis dan para medis yang seharusnya agar dalam menjalankan
tugasnya tetap berjalan pada syariat agama Islam dan benar-benar akan mendatang
kan kemaslahatan bagi para pasien yang datang untuk berobat di tempat pelayanan
kesehatan tersebut. Serta bagaimana pula peran serta dari lembaga berwenang
kedokteran menyikapi aturan yang sesuai dengan syariat islam ini.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Perintah islam
untuk menjaga diri dan hijabnya terhadap non muhrim
Dienul Islam adalah
sebuah agama yang mengatur segala seluk beluk yang ada di kehidupan manusia dan
semua ciptaan Allah. Adapun yang termasuk yang dibahas adalah mengenai hubungan
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di dalam agama ini diatur
bagaimana hubungan antar seorang wanita dan laki-laki selayaknya menurut
pandangan Islam.
Adapun perintah
Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita pada
(QS. Al-Ahzab : 53). Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus
disampaikan dari balik tabir pembatas
Banyak pendapat dari
berbagai ulama mengenai hubungan antara laki-laki dan wanita ini, antara lain:
Asy Syaikh berkata,
Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya
diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah.
Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai
syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya;
penj.) maka KEHARAMAN berjabat tangan tidak diragukan lagi. Bahkan seandainya
kedua syarat ini tidak terpenuhi - YAITU TIADANYA SYAHWAT DAN AMAN DARI FITNAH
– meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti
bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya,
maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.Bahkan berjabat
tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu
tidak terpenuhi. Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan
saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat
atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka;
dan TIDAK BAIK hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu
kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi
saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat
tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang
erat). Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen
pada agamanya – IALAH TIDAK MEMULAI BERJABAT TANGAN DENGAN LAIN JENIS. Tetapi,
apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Dari Ma'qil bin
Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda: "Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang
diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia
harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya". [Thabrani dalam
KitabAl-Kabir, Bab XX No. 211 dengan isnad hasan].
Dari ‘Aisyah ia
berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’at para perempuan dengan
perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang tangan para perempuan,
kecuali tangan perempuan yang telah menjadi miliknya (artinya perempuan yang
telah dinikahinya = istri Nabi). [Bukhari]
Tidak hanya itu,
dalam islam juga melarang agar kaum muslimin tidak berdua-duan (LARANGAN
BERKHALWAT) seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas, ia
berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpidato:
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang
wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita
bepergian kecuali bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit berdiri
dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi untuk menunaikan
ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan ini dan itu.
Beliau bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu”. [Bukhari,
Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]
Hendaklah para
muslimah tidak duduk-duduk dengan lelaki lain, hanya untuk sekedar ngobrol
tanpa ada maksud dan tujuan tertentu. Duduk-duduk yang diperbolehkan hanya bila
ada kebutuhan yang bersifat syar’I (dibolehkan agama).
Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:
Madzhab
Hanafi :
v Haram
menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman
dari syahwat.
v Berjabat
tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi;
At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata
tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
v Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih
berpotensi mem- bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu
ash-Shana`i']
Madzhab
Maliki:
v Haram
berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam
al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.
v Hukum
berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin
Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
v Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat
tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki
lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir IV/760].
Madzhab
Syafi’i :
v Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan
lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan
perempuan bukan muhrim.
v Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim)
saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih
nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
v Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman
228 berkata: “Para sahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan
bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk
menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah
dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada
saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada saat
mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di
atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk
menyentuhnya”.
Madzhab
Hanbali:
v Imam
Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan
muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
v Mengenai
berjabat tangan dengan perempuan tua:
Imam
Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak
dibolehkan).
Sementara
Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan
dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
v Imam al-Marruzi (ada yang membaca
: al-Marwazi) mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ”
Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?”"
Beliau menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih
banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan
tangan dengan wanita bukan Muhrim.”(A.Shihabuddin. Telaah Kritis atas Doktrin
paham Salafi/Wahabi.------
Dari berbagai mazhab
para ulama diatas dapat kita lihat ada persamaan dan perbedaan pandangan dari
setiap ulama.
Namun untuk saat ini
orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan
muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramahan dan
kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan
tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenar- nya juga tidak
perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan
dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang
penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani
perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan
oleh syari’at Islam.
II.2 Fenomena yang ada di
tempat pelayanan kesehatan saat ini
Dalam ilmu
kedokteran / kesehatan untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, dokter perlu
melaksanakan pemeriksaan pada pasien seluruh tubuhnya, baik diluar, maupun dari
dalam, sehingga pada umumnya pasien harus bersedia menanggalkan pakaiannya.
Pemeriksaan dilakukan oleh dokter di ruang pemeriksaan, di mana dokter dapat
memeriksa pasien dengan leluasa tanpa dapat dilihat dan didengar oleh orang
lain. Dokter dan tenaga para medis diwajibkan secara etis memelihara kehormatan
manusia, baik dalam ruang pemeriksaan, maupun dalam ruang perawatan.
Dalam prakteknya di
tempat pelayanan itu sendiri banyak sekali kondisi yang membuat interaksi
antara tenaga medis dengan pasiennya yang kadang membuat kita bertanya mengenai
hal tersebut dalam pandangan Islam. Adapun prosedur-prosedur yang sering
dilaksanakan dalam tahap pemeriksaan di Rumah Sakit atau tempat pelayanan
kesehatan lain tersebut antara lain:
a. Mengambil
anamnesa (riwayat penyakit)
Pasien diharapkan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter secara jujur dan jelas,
karena kadang –kadang pasien tidak ingin menceritakan riwayat penyakitnya
karena merasa malu.
b. Melakukan
inspeksi
Inspeksi ini sudah
dilakukan sejak pasien memasuki kamar kerja dokter, cara dia berjalan, normal
atau dipapah, napas sesak, kemudian bentuk badan,emosionalnya,dan lain-lain
c. Melakukan
palpasi
Yaitu meraba tubuh
dengan telapak tangan. Untuk ini perlulah pasien diminta untuk membuka
pakaiannya terutama bagian atas, kalau nanti ternyata diperlukan pemeriksaan
yang lebih lengkap barulah si pasien diminta untuk membuka celana, gune pemeriksaan
dalam, baik melalui vagina maupun anus (dubur).
d. Melakukan
perkusi
Yaitu dengan
memukulkan jari tengah kanan diatas jari tengah tangan kiri yang diletakkan
dibagian atas tubuh yang diperiksa. Pada perkusi akan menimbulkan suara
sehingga dapat ditentukan batas konfigurasi jantung, paru-paru dan sebagainya.
Apakah ada cairan di rongga dada atau pada rongga perut.
e. Melakukan
aukultasi
Dengan alat
pendengar stetoskop dokter dapat mendengar bunyi-bunyi udara di dalam
paru-paru, baik yang normal maupun yang tidak normal, bunyi jantung yang normal
dan yang tidak normal, bunyi bising, bunyi gerakan usus dan sebagainya.
f. Pemeriksaan
Pelengkap
Dilakukan dengan
alat-alat seperti Reflek hamer dan Elektro Cardiograf, alat yang
untuk mencatat aktivitas jantung yang mengungkapkan peristiwa-peristiwa
abnormal yang tidak diketahui dengan cara-cara diatas.
g. Pemeriksaan
Laboratorium
Permeriksaan darah
untuk mengetahui sel-sel darah, berbagai macam zat-zat dalam darah seperti
gula, empedu , kolesterol, dan sebagainya.
Dengan berbagai cara
pemeriksaan ini dokter mendapat bahan-bahan dalam menegakkan suatu diagnosa
penyakit.
Yang jelas ialah
bahwa dalam pemeriksaan ini:
i. Dokter dan pasien
berada berduaan di dalam suatu ruangan.
ii. Dokter melihat
dan meraba sebagian atau seluruh badan penderita, termasuk bagian auratnya.
iii. Dokter yang
memeriksa dapat sejenis dengan penderita yaitu dokter laki-laki memeriksa
penderita laki-laki atau tidak sejenis yaitu dokter wanita memeriksa penderita
laki-laki dan sebaliknya.
Tidak hanya itu,
dalam pelayanan kesehatan masih banyak sekali tindakan medis yang membuat
antara tenaga medis dan petugas kesehatan terjadi interaksi yang “melanggar”
aturan agama. Contohnya seperti tindakan operasi. Tidak jarang para dokter atau
pun perawatnya yang berlawanan jenis dengan pasien. Belum lagi jika yang
dilakukan operasi adalah bagian vital dari pasien. Seperti operasi pengangkatan
rahim ataupun operasi kanker payudara. Atau tindakan pemasangan kateter
(pemasangan suatu alat ke bagian alat pengeluaran urin untuk mempermudah pasien
buang air kecil). Dan disini lah terlihat sekali peran tenaga medis yang
membuat mereka harus melihat bahkan memegang alat kelamin pasiennya, dan tidak
jarang pula yang melakukan itu adalah tenaga medis yang bukan muhrim dengan
pasiennya.
Belum lagi pada
kasus dokter kandungan yang dokternya adalah seorang laki-laki. Dalam
pemeriksaannya maupun proses kelahiran itu dokter tersebut akan sering
berinteraksi dengan kliennya,yaitu para wanita. Dan mungkin masih banyak
fenomena lain di tempat pelayanan kesehatan yang melibatkan interaksi antara
tenaga medis atau para medis dengan pasiennya yang bukan muhrim.
II.3 pandangan islam terhadap fenomena dalam
dunia kesehatan
Islam menentukan
bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya, karena Allah
sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di jelaskan Allah
dalam surat Al Isra’ :70.
Maka dokter maupun
paramedis haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada pasien, segala tindakan yang
harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas keyakinan.
Untuk pemeriksaan
dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka dokter berkhalwat, melihat
aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan hanya didasarkan pada
keadaan darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul fiqh yang berbunyi :
yang darurat dapat membolehkan yang
dilarang.
Islam
memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa
dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan
dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat
menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’.
Berbicara mengenai
kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua kaidah yaitu kaidah pokok
dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini menjelaskan bahwa kemudharatan harus
dilenyapkan yang bersumber dari Q.S Al- Qashash : 77), contohnya meminum khamar
dan zat adiktif lainnya yang dapat merusak akal, menghancurkan potensi sosiol
ekonomi, bagi peminumnya akan menurunkan produktivitasnya. Demikian pula
menghisap rokok, disamping merusak diri penghisapnya juga mengganggu orang lain
disekitarnya. Para ulama menganggap keadaan darurat sebagai suatu kesempitan,
dan jika kesempitan itu datang agama justru memberikan keluasan.
Namun darurat itu
bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilakukan. Umumnya darurat
baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak
ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan
sebagainya.
Akan tetapi, untuk
mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya sewaktu dokter memeriksa
pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga medis itu
sendiri.
Akan lebih baik lagi
jika pasien diperiksa oleh dokter sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh
dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki. Karena
dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh
dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis hetero seksual,
maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan pasien.
Dalam batas-batas
tertentu, mayoritas ulama memperbolehakan berobat kepada lawan jenis jika
sekiranya yang sejenis tidak ada, dengan syarat ditunggui oleh mahram atau
orang yang sejenis. Alasannya, karena berobat hukumnya hanya sunnah dan
bersikap pasrah (tawakkal) dinilai sebagai suatu keutamaan (fadlilah). Ulama
sepakat bahawa pembolehan yang diharamkan dalam keadaan darurat, termasuk
pembolehan melihat aurat orang lain,ada batasnya yang secara umum ditegaskan
dalam al-qur’an ( Q.S Al-baqarah : 173; Al-an’am :145 ;An-nahl : 115) dengan
menjauhi kezaliman dan lewat batas.
Dalam pengobatan,
kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat diperlukan, karena itu, bagian
tubuh yang lain yang tidak terkait langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak
boleh melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan darurat dalam pemeriksaan
oleh lawan jenis sebagai upaya sadd al-Dzari’at (menutup jalan untuk
terlaksananya kejahatan), disarankan disertai mahram dan prioritas diobati oleh
yang sejenis.
Pembolehan dan
batasan kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak disampaikan oleh tokoh
madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali menyatakan boleh bagi
dokter/ tabib laki-laki melihat aurat pasien lain jenis yang bukan mahram
khusus pada bagian tubuh yang menuntut untuk itu termasuk aurat vitalnya,
demikian pula sebaliknya, dokter wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki
yang bukan mahramnya dengan alasan tuntutan.
Di Indonesia, dalam
fatwa MPKS disebutkan, tidak dilarang melihat aurat perempuan sakit oleh
seorang dokter laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati penyakitnya.
Seluruh tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki, bahkan hingga
genetalianya, tetapi jika pemeriksaan dan pengobatan itu telah mengenai
genitalian dan sekiatarnya maka perlu ditemani oleh seorang anggota keluarga
laki-laki yang terdekat atau suaminya. Jadi, kebolehan berobat kepada lain jenis
dipersyaratkan jika yang sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan
bagi pasien untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter
atau yang sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ pasien yang tidak
berkaitan langsung.
II.4 Kode etik kedokteran dan sifat-sifat yang
harus dimiliki tenaga medis
Yang dimaksud dengan
tenaga medik, ialah para dokter, sedang tenaga para medik ialah perawat, bidan,
laboran dan sebaginya. Mereka merupakan manusia-manusia yang mempunyai keahlian
yang terdidik dalam mengobati penyakit, dan merawat penderita, tingkah laku
mereka yang baik dapat mempercepat kesembuhan. Haruslah ada hubungan kejiwaan
yang akrab antara mereka dan penderita. Islam mengajarkan supaya usaha mulia
ini haruslah didasarkan atas iman dan pengbdian diri kepada-Nya.
v Sumpah Dokter dan
Etika Kedokteran
Sejak permulaan
sejarah umat manusia, orang sudah mengenal hubungan kepercayaan antara dua
insane yaitu si penderita dan sang pengobat, yang pada zaman modern ini disebut
sebagai hubungan dokter dengan pasien.
Rumusan-rumusan
disiplin untuk para dokter itu mula pertama dikenal sebagai “Sumpah
Hippocrates”. Sumpah Hippocrates itu mengandung 6 buah nasehat atau peringatan
yaitu :
a. mengajarkan ilmu
kedokteran kepada mereka yang berhak menerimanya.
b. mempraktikkan
ilmu kedokteran hanya untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi pasien.
c. tidak mengerjakan
sesuatu yang berbahaya bagi pasien.
d. tidak melakukan
keguguran buatan yang bersifat kejahatan.
e. menyerahkan
perasat-perasat tertentu kepada teman-teman sejawat ahli dalam lapangan yang
bersangkutan.
f. Tidak mempergunakan
kesempatan untuk melakukan kejahatan atau godaan yang mungkin timbul dalam
mengerjakan praktik kedokteran.
g. Hidup dalam
keadaan suci dan sopan santun.
h. Memelihara
rahasia jabatan.
Pada kode etik
kedokteran terdapat point-point pada tiap-tiap babnya yaitu antara lain;
kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap
team sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Dalam kode etik
kedokteran ( Islamic code of medical Etyhics), yang merupakan hasil dari
First international conferenceon Islamic Medicine yang diselenggarakan
pada 6-10 Rabi’al awwal 1401 M di Kuwait dan selajutnya disepakati sebagai kode
etik kedokteran islam, dirumuskan beberapa karakteristik yang semestinya
dimiliki oelh dokter muslim (tenaga kesehatan umumnya). Isi kode etik
kedokteran islam tersebut terdiri atas dua belas pasal. Rinciannya disebutkan :
Pertama, definisi profesi kedokteran. Kedua, ciri-ciri para dokter. Ketiga,
hubungan dokter dengan dokter. Keempat, hubungan dokter dengan pasien. Kelima,
rahasia profesi. Keenam, peranan dokter di masa perang. Ketujuh, taggung jawab
dan pertanggungjawaban. Kedelapan, kesucian jiwa manusia. Kesembilan, dokter
dan masyarakat. Kesepuluh, dokter dan kemajuan biomedis modern. Kesebelas,
pendidikan kedokteran. Keduabelas, sumpah dokter.
Melihat bagaimana
besarnya amal dan pengabdian yang diberikan oleh dokter dan tenaa para medik,
maka islam menganjurkan beberapa sifat-sifat yang harus dipunyai antara lain :
1. Beriman
Sebab tanpa iman
segala amal saleh sebagai dokter dan tenaga para medis akan hilang sia-sia dimata
Allah. (Q.S Al ashr : 1-3)
2. Tulus-ikhlas
karena Allah (Q.S Al-bayyinah :5)
3. penyantun
Artinya ikut
merasakan penderitaan orang lain dan Karena itu suka menolong orang lain dalam
kesukaran. (Q.S Al-baqarah : 263)
4. Peramah
Bergaul dengan tidak
kaku dan menyenangkan. (Q.S Ali Imran : 159)
5. Sabar
Tidak lekas
emosionil dan lekas marahQ.S Asy syura :43)
6. Tenang
Tidak gugup betapa
pun keadaan gawat. (Dalam sabda Rasulullah : “Tetaplah kamu bersikap tenang”
riwayat At thabrani dan Bhaiqi)
7. Teliti
Berhati-hati, cermat
dan rapi
8. Tegas
Terang,nyata, dan
tidak ragu-ragu.
9. Patuh pada
peraturan
Suka menurut
perintah
10. bersih, apik ,
suci. (Q.S At taubah : 108)
11. Penyimpan
rahasia (Q.S An-nisa 148)
12. dapat dipercaya
(Q.S Al mu’minun : 1-11)
Di dalam literatur
lain, terdapat karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang tenaga kesehatan,
khususnya dokter adalah menurut Ja’far Khadim Yamani, ilmu kedokteran dapat
dikatan islami, mempersyaratkan dengan 9 karakteristik, yaitu : pertama, dokter
harus mesngobati pasien dengan ihsan dan tidak melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan Al-Qur’an. Kedua, tidak menggunakan bahan haram atau
dicampur dengan unsure haram. Ketiga, dalam pengobatan tidak boleh
mengakibatkan mencacatkan tubuh pasien, kecuali sudah tidak ada alternative
lain. Keempat, pengobatannya tidak berbau takhayyul, khurafat, atau bid’ah.
Kelima, hanya dilakukan oleh tenaga medis yang ,menguasai di bidang medis.
Keenam, dokter memiliki sikap-sikap terpuji, tidak pemilik rasa iri, riya,
tkabbur, senang merendahkan orang lain, serta sikap hina lainnya. Ketujuh,
harus berpenampilan rapid an bersih. Kedelapan, lembaga-lembaga pelayanan
kesehatan mesti bersikap simpatik. Kesembilan, menjauhkan dan menjaga diri dari
pengaruh atau lambing-lambang non-islami.
Disamping itu
menurut Dr. Zuhair Ahmad al- Sibai dan Dr. Muhammad ‘ali al-Ba dalam karyanya
Al-Thabib, Adabu wa Fiqhuh (dokter, Etika, dan Fiqih Kedokteran), antara lain
dikemukan bahawa dokter muslim harus berkeyakinan atas kehormatan profesi ,
menjernihkan nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunaka metode ilmiah
dalam berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas
diri.
a. Berkeyakinan dan
kehormatan atas profesi
Bahwa profesi
kedokteran adalah salah satu profesi yang sangat mulia tapi tergantung dengan
dua syarat, yaitu :
- dilakukan dengan
sngguh-sumngguh dan dengan penuh keikhlasan
- menjaga akhlak
mulia dalamperilaku dan tindakan-tindakan sebagai dokter
Disamping itu,
dokter selalu menjadi tumpuan pasien, keluarga, masyarakat , bahkan bangsa.
Mengingat kedudukan profesi kedokteran tersebut, seharusnya dalam menjalankan
profesinya tidak hanya berfikir tentang materi tetapi lebih kepada pengabdian
dan perbaikan umat. Keyakinan akan kehormatan profesi tersebut merupakan
motivator untuk memelihara akhlak yang baik dalam hubungannya dengan
masyarakat.
b. berusaha
menjernihkan jiwa
Kejernihan jiwa akan
menentukan kualitas perbuatan manusia secara keseluruhan, jika seseorang
termasuk dokter hatinya jernih maka perbuatan akan selalu positif.
c. lebih mendalami
ilmu yang dikuasai
Dalam hadist nabi
disebutkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban sepanjang hidup. Sebagaimana
diketahui bahwa ilmu pengetahuan iytu dari hari ke hari selalu mengalami
perkembangan. Karena itu, agar setiap dokter tidak ketinggalan informasi dan
ilmu pengetahuan dan lebih mendalami bidang profesinya, maka dituntut untuk
selalu belajar. Dalam islam sangat ditekankan dalam mengamalkan segala sesuatu
agar dilakukan secara professional dan penuh ketelitian.
d. Menggunakan
metode ilmiah dalam berfikir
Bagi dokter muslim
diharuskan dalam berfikir menggunakan metode ilmiah sesuai dengan kaidah logika
ilmiah sebagaimana terjabar dalam disiplin ilmu kedokteran modern. Ajaran islam
sangat menekankan agar berfikir atau merenung terhadap berbagai sebab,
tujuannya agar mendapat keyakinan yang benar.
e. Memiliki rasa
cinta kasih
Rasa cinta kasih
adalah cahaya yang timbul dari hati yang terdalam, dia akan dapat menyinari
orang lain, alam semesta dan segala sesuatu. Cahaya itu kemudian memantul
kepada dirinya sendirinya dan melimpah kepadanya kejernihan, kerelaan, dan
kemantapan.
f. Keharusan Brsikap
Benar dan Jujur
Benar dan jujur bagi
seorang dokter yang selalu berkomunikasi dengan masyarakat merupakan keharusan
agar mendapat kepercayaan dari pasien dan masyarakat. Yang dimaksud dengan
benar dan jujur disini adalah sifat yang komprehensif mempunyai banyak makna,
termasuk menepati janji dan menunaikan amanah. Al-qur’an sangat menekankan
sikap benar dan jujur, diantaranya terdapat dalam firman Allah SWT ( Q.S
At-taubat : 119)
g. Berendah hati
(tawadhu)
Setiap orang,
terutama orang yang melayani kepentingan umum termasuk dokter dituntut bersifat
rendah hati. Sifat yang sering membuat seseorang dijauhi dalam pergaulan
biasanya karena kesombongan dan keangkuhan. Kesombongan dan keangkuhan biasanya
lahir karena ada perasaan, ilmu, atau pengaruhnya. Ajaran islam sangat mengecam
perbuatan angkuh dan sombong. Disisi lain dijelaskan bahwa Allah akan
mengangkat derajat ornag yang merendahkan diri (tawadhu).
h. keadilan dan
keseimbangan
Dokter termasuk
orang yang banyak berurusan dengan masalah manusia dan kemanusiaan. Kehidupan
seseorang termasuk dokter sangat ditentukan oleh kualitas hubungan dengan
masyarakat itu. Ajaran islam sangat menganjurkan untuk berperilaku adil dan
berkeseimbangan dalam berbagai urusan, tidak berkelebihan atau over acting
dalam gaya hidup, khususnya dalam masalah tarif praktek,dan bayaran seghingga
mengurangi dan menodaiprinsip-prinsip yang mesti dijunjung tinggi sebagai
pelayan masyarakat.
i. Mawas diri
Mengingat tugas
dokter melayani masyarakat dan tanggung jawab menyangkut nyawa dan keselamatan
seseorang. Mereka sering menjadi sasaran tuduhan, itu dsebabkan adanya anggapan
masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah ornag yang paling mengetahui
rahasia kehidupan dan kematian. Dengan senantiasa mawas diri, seorang dokter
muslim akan sadar atas segala kekurangannya sehingga di masa mendatang akan
memperbaikinya, juga akan terhindar dari berbagai sifat tercela lain seperti
sombong, riya, angkuh, dan lainnya.
j. ikhlas,
penyantun, ramah, sabar, dan tenang.
Dokter muslim juga
harus ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya, semua dilakukan sebagai ibadah
untuk mencari ridha Allah. Berbuat ikhlas sangat dituntut dalam islam, sebagai
mana dinyatakan dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Bayyinat:5).
Dokter muslim juga
dituntut penyantun, ikut merasakan penderitaan orang lain sehingga berkeinginan
untuk menolongnya. Dokter muslim juga dituntut ramah, bergaul dengan luwes, dan
menyenangkan. Juga dituntuk bersikap sabar, tidak emosional dan lekas marah,
tenang penyantun, ramah, sebagaimana dianjurkan dalam ayat Al-Qur’an (Q.S ali
imran: 159)
Dokter muslim juga
dituntut bersikap tenang, tidak gugup dalam menghadapi segawat apapun.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dienul Islam
mengatur hubungan antar manusia tak terkecuali hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Pada Al-qur’an, sunah Rasulullah SAW, serta pendapat para ulama
dapat diketahui bahwa antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim terdapat
batasan-batasan dalam berinteraksi, seperti adanya larangan untuk besentuhan
(bersalaman) , larangan untuk berdua-duaan (berkhalawat).
Dari beberapa
madzhab yang ada antara lain dari Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki,Madzhab
Syafi’I, dan Madzhab
Hanbali dapat diketahui bahwa Rasulullah pun sangat menjaga hubungan dengan
kaum hawa.
Walaupun saat ini
mungkin masih banyak kaum muslimin yang tidak terlalu memperhatikan hal
tersebut karena alasan tata krama dan kesopanan. Tapi bagaimana pun memang
selayaknya kita sebagai kaum muslimin menjalankan sunnah Rasulullah SAW yang
merupakan rahmatan lil alamin.
Pada kenyataannya di
masyarakat saat ini, khususnya pada tempat pelayanan kesehatan, banyak sekali
interaksi antara tenaga kesehatan dan pasiennya yang sering bertolak belakang
dengan aturan yang ada dalam islam mengenai hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim. Misalnya saja pada prosedur pemeriksaan pasien
yang mengharuskan pasien membuka auratnya dan disentuh (untuk pemeriksaan) oleh
tenaga kesehatan. Contohnya yaitu pemeriksaan fisik oleh dokter, pemasangan
kateter oleh perawat, operasi alat vital oleh tim dokter, serta tindakan medis
lainnya.
Akan tetapi, Islam
bukanlah agama yang monoton. Islam juga telah mengatur semua yang akan dihadapi
oleh anak cucu Adam. Dalam islam juga telah dijelaskan bahwa Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu
hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka
Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi
darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah.
Disamping
hal itu, pihak institusi kedokteran terkait pun telah membuat suatu kode etik
atau aturan-aturan yang dapat mengatur tindakan tenaga kesehatan agar dalam
menjalankan tugasnya tetap mampu mencerminkan diri sebagai tenaga kesehatan
yang islami. Mereka juga harus memiliki sikap-sikap yang dapat meningkatkan
hubungan serta komunikasi mereka dengan pasien dan keluarganya agar terjalin
kerjasama yang baik. Tidak hanya itu, Islam pun menganjurkan agar tenaga medis
itu memiliki karakteristik yang dapat membuat mereka benar-benar menjadi tenaga
kesehatan yang islami antara lain harus berkeyakinan atas kehormatan profesi , menjernihkan
nafsu,lebih mendalami ilmu yang dikuasai, menggunakan metode ilmiah dalam
berfikir, kasih sayang,benar dan jujur, rendah hati, bersahaja dan mawas diri.
Jadi dapat
disimpulkan secara keseluruhan bahwa dalam kondisi darurat diperbolekan bagi
tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan medis kepada pasiennya yang berbeda
jenis kelamin jika itu benar-benar akan mendatangkan banyak kemaslahatan bagi
pasien dengan syarat-syarat yang telah diatur pula misalnya pasien yang tetap
ditemani oleh keluarganya saat pemeriksaan ataupun hanya memeriksa bagian tubuh
pasien yang perlu-perlu saja. Tenaga kesehatan pun harus dituntut untuk
menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik yang telah dibuat oleh institusi
terkait dan mereka juga harus memiliki sikap dan jiwa yang sesuai dengan
syariat islam agar dapat mencerminkan diri sebagai tenaga kesehatan yang islami
pula.
III.2 Saran
Dalam penyusunan
makalah ini, kami selaku anggota kelompok telah bekerja keras demi
menyelesaikan makalah ini. Namun, kami hanyalah manusia yang tak luput dari
kekhilafan sehingga menyebabkan ketidaksempurnaan dalam menyusun makalah ini.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam
ketidaksempurnaan tersebut makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar