BAB I
PENDAHULUAN
Adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat adalah sebuah falsafah
kehidupan dan menjadi simbol yang sangat dikenal pada era kejayaan Aceh
Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636 M). Sebenarnya
ungkapan tersebut menunjukkan perilaku kehidupan masyarakat yang mengacu pada
tatanan hukum adat dan ajaran agama Islam. Keduanya tidak boleh dipisahkan
karena begitu melekat dalam jiwa nasionalis orang Aceh.
1.1. Tujuan
Pembahasan ini terbatas pada beberapa hukum adat berbasis agama yang tengah
menjadi persoalan dalam penerapan syari’at Islam di Aceh. Adapun tulisan ini
bertujuan untuk menyibak kembali pelaksanaan hukum adat berbasis agama yang
pernah diterapkan di Aceh. Kemudian tulisan ini mencoba memberikan gambaran
terhadap tiga hal persoalan, yaitu :
1.
Bagaimana sebenarnya peranan adat dalam
mengatur tatanan kehidupan masyarakat Aceh?
2.
Sejauhmana tingkat keberhasilan hukum adat
berbasis agama yang pernah diterapkan di Aceh?
3.
Strategi apa yang mesti dilakukan agar
penerapan syari’at Islam di Aceh sekarang ini bisa terlaksana dengan
kaffah?
1.2. Manfaat
Tulisan ini diharapkan
bermanfaat baik dari aspek teoritis maupun praktis. Secara teoritis tergambar
dalam materi tulisan ini. Adapun secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat
berguna bagi individu, masyarakat, dan pemerintah. Semoga tulisan ini dapat
menjadi bahan renungan dan menjadi sebuah upaya untuk memutar kembali sejarah
adat Aceh yang pernah berjaya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Awal Berkembangnya Hukum Adat Di Aceh
Sebelum menelusuri lebih
jauh tentang perkembangan hukum adat di Aceh, terlebih dahulu perlu diketahui
pengertian adat itu sendiri. Adapun kata “adat” adalah kata serapan dari bahasa
Arab yang secara termonilogi berarti peraturan yang telah berlaku turun-temurun
dari zaman dahulu dan masih ditaati oleh masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adat mempunyai beberapa arti, 1) aturan (perbuatan dan sebagainya)
yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala, 2) kebiasaan ; cara
(kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan, 3) cukai menurut
peraturan yang berlaku (di pelabuhan dan sebagainya), dan 4) wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
Sedangkan adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari
generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan
pola-pola perilaku masyarakat.
Dari serangkaian definisi
adat di atas, jelaslah bahwa adat merupakan sebuah sistem yang dianut
masyarakat sebagai pola tingkah laku kehidupan masyarakat. Adat bisa menjadi
sebuah pegangan suatu masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik yang
berkenaan hubungan interaksi masyarakat dalam sebuah adat maupun hukuman akibat
pelanggaran terhadap adat. Adat suatu negeri biasanya dijalankan tanpa ada
format tertulis dan tetap diyakini masyarakat sebagai sebuah sistem yang harus
dipatuhi. Biasanya kehidupan masyarakat yang masih kental adat lokalnya
berlangsung teratur dikarenakan sistem adat yang efektif terhadap kondisi
masyarakat tersebut.
Sejarah dimulainya
perilaku adat di Aceh diawali dengan lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam.
Masuknya agama Islam ke Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah pada tahun 1511 – 1530 M juga sangat mempengaruhi proses
terbentuknya hukum adat. Penyebaran agama Islam pada masa itu berkembang luas
dan cepat karena agama Islam sangat cocok dengan karakteristik masyarakat Aceh.
Maka atas hasil mufakat pembesar-pembesar kerajaan, terbentuklah suatu sistem
hukum adat yang mulai diberlakukan di Kerajaan Aceh Darussalam. Pelaksanaan
hukum adat tersebut berjalan tertib karena adanya kerjasama yang solid antara
pemerintah, lembaga adat dan masyarakat.
Ketika Sultan Iskandar
Muda memimpin kerajaan rentang tahun 1607 – 1636 M, Aceh mengalami kemajuan
yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya termasuk aspek
penataan hukum adat. Hukum adat Aceh sangat dikenal di seluruh dunia, menurut
penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan adat Aceh masyhur ke seluruh
negeri :
a.
Hubungan diplomatis yang sangat erat dengan pemerintah Turki. Hasil dari
hubungan bilateral ini Sultan sering berbagi pengalaman tentang kondisi
kemajuan di Aceh, termasuk adat-istiadatnya.
b.
Luasnya daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh. Daerah yang
berhasil ditaklukkan sebagian besar adalah daerah-daerah Melayu. Misi Sultan
adalah menyebarluaskan agama Islam dan juga memperkenalkan adat-istiadat Aceh.
Secara tidak langsung, daerah yang berhasil ditaklukkan harus mengikuti aturan
Kerajaan Aceh.
Kepiawaian Sultan Iskandar
Muda juga tergambar jelas ketika berhasil mempersatukan beberapa suku yang
masih menganut adat budaya masing-masing menjadi adat nasional (hukum adat yang
dikendalikan oleh kerajaan). Sebelum Sultan Iskandar Muda memimpin, di Aceh
tersebar empat suku besar, yaitu :
1.
Suku Lhee Reutoh (Tiga ratus), yang berasal dari orang-orang mante dan
Karo/Batak
2.
Suku Imuem Peut (Imam Empat), yang berasal dari orang-orang Hindu
3.
Suku Tok Batee, kaum asing yang berasal dari Arab, Parsi, Turki, dan
Hindi yang sudah lama menetap di Aceh
4.
Suku Ja Sandang, yaitu kaum Hindu, tukang tuak yang pertama sekali
datang ke Lampanaih.
Keempat suku ini saling
mengklaim bahwa budaya mereka adalah yang terbaik di antara suku-suku lain.
Sultan-sultan sebelumnya sangat sulit mempersatukan keanekaragaman adat
masing-masing suku. Masa ini dalam sejarah juga sering disebut adat
plakpleung yaitu adat yang beranekaragam. Kejadian ini hampir sama seperti
negara Indonesia yang terdiri dari ratusan suku. Kemudian oleh pemerintah
suku-suku tersebut dipersatukan dalam satu wadah dan satu bahasa sebagaimana
yang tersurat dalam Sumpah Palapa.
Kemudian atas beberapa
nasehat dari mufti kerajaan dan ahli-ahli agama, maka Sultan telah dapat
menyatukan suku-suku yang berbeda tersebut dalam satu wadah pemerintahan.
Sehingga muncullah hadih maja yang masih dikenal sampai sekarang, yaitu
: adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe
Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lage zat ngon sifeut.
Adapun penjelasannya dari
istilah di atas, yaitu :
· Sultan Imam Malikul Adil sebagai kepala
pemerintahan adalah pemegang kekuasaan politik dan adat negeri, atau pemegang
kekuasaan eksekutif
· Qadli Malikul Adil (ulama) sebagai ketua
mahkamah agung adalah pemegang kekuasaan hukum (yudikatif)
· Rakyat adalah pemegang kekuasaan pembuatan
undang-undang (legislatif) yang dalam hadih maja ini dilambangkan sebagai
Putroe Phang, yaitu Puteri Pahang (permaisuri Sultan Iskandar Muda) yang
mempelopori pembentukan Majelis Mahkamah Musyawarah Rakyat
· Pada waktu negara dalam keadaan
bahaya/perang, pemegang segala kekuasaan dalam negara adalah Panglima Tertinggi
Angkatan Perang, yang dalam istilah hadih maja ini disebut sebagai
Laksamana, yaitu Wazirul Harb.
Walaupun pembagian
kekuasaan seperti tersebut di atas, ada satu ketentuan lain yang tidak boleh
menyimpang satu sama lain. Sesuai dengan hadih majanya hukom ngon
adat lage zat ngon sifeut. Maksudnya adat dengan hukum adalah seperti
zat dengan sifat, menjadi satu dan tidak boleh dipisahkan. Sehingga antara
pemegang kekuasaan adat dan politik (Sultan Imam Malikul Adil) dengan pemegang
kekuasaan hukum (Qadli Malikul Adil) haruslah bekerjasama.
Hadih maja di atas menjadi sebuah filsafat hidup rakyat
Aceh yang harus dijalankan secara menyeluruh. Adanya pembagian kekuasaan yang
merata dan sumber pegangan masyarakat telah menjadikan hadih maja ini
sakral bagi masyarakat. Pengertian hadih maja ini sebagai falsafah hidup
rakyat Aceh berarti:
1.
Segala cabang kehidupan negara dan rakyat haruslah berjiwa dan bersendi Islam
2.
Wajah politik dan wajah agama Islam pada batang tubuh masyarakat dan negara
Aceh telah menjadi satu
3.
Sifat gotong-royong yang menjadi ciri khas Islam menjadi landasan berpijak bagi
rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam
Kemudian maksud hukom
dalam hadih maja tersebut yaitu hukum Islam, karena Undang-undang Dasar
Aceh yang bernama Qanun Adat Meukuta Alam menegaskan bahwa hukum yang
berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam adalah Hukum Islam dengan sumber
hukumnya Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Nyatalah bahwa hadih
maja tersebut adalah falsafah kehidupan rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh
Darussalam dan telah menjadi ketentuan pasti sebagai Jalan Hidup (way of
life) dari rakyat Aceh.
Berpegang pada
prinsip di atas, maka kerajaan juga membuat kategori adat itu pada tiga hal,
yaitu :
1.
‘Adatulllah, yaitu hukum dari Allah
2.
Adat Mahkamah, yaitu adat yang disusun oleh majelis kerajaaan. Contoh adat ini
seperti adat blang, adat laot, adat gle, adat peukan,
adat kuala, adat seuneubok, dan sebagainya.
3.
Adat tunaih, adat ini berlaku di masing-masing daerah. Biasanya disusun
secara musyawarah oleh Panglima Sagoe, Uleebalang, dan utusan
masyarakat untuk menunjang hukum dan adat raja (adat mahkamah).
Selain tiga jenis adat di atas, ada beberapa
ketentuan hukum dan adat yang tidak dapat diberikan keputusan oleh majelis
ulama dan uleebalang, masyarakat boleh meminta ketetapan hukum dan adat
pada Pengadilan Tinggi Syaikhul Islam dan Majelis Tinggi yang diketuai oleh Sri
Baginda sendiri dan ditempatkan di Balai Baiturrahman.
Lancarnya kehidupan adat
di Aceh didukung oleh kepemimpinan Sultan yang adil bijaksana, rakyat Aceh
senantiasa hidup tenteram, damai, dan makmur sejahtera. Hampir jarang didengar
adanya kesenjangan sosial sesama masyarakat. Rakyat mematuhi pimpinannya,
karena mereka bekerja untuk kepentingan umum dan berlaku adil sesuai
ajaran-ajaran Islam dan adat Aceh. Kuatnya posisi hukum dan adat telah menjadi
contoh bangsa lain untuk berguru pada Kerajaan Aceh Darussalam. Malah beberapa
bangsa Melayu mencontoh bentuk ini untuk diterapkan kepada masyarakatnya,
seperti Brunei, Pattani, dan Malaya.
Awal munculnya
implementasi hukum adat di Aceh berdasarkan rancangan yang dibentuk oleh
pemerintah dengan mempertimbangkan faktor kondisi psikologis orang Aceh.
Ketetapan hukum adat ini seharusnya berlangsung hingga pemerintah berikutnya
berkuasa. Namun tidak halnya yang terjadi pada pemerintahan daerah sekarang,
yang seakan-akan menafikan hukum adat.
a. Struktur Tata Negara
Pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda memerintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan
pemerintahan di Aceh adalah gampong (kampung). Sebuah gampong
terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain.
Yang mengepalai gampong adalah seorang geuchik dan dibantu oleh waki.
Selain itu geuchik juga dibantu oleh tengku imuem meunasah dan tuha
peut. Setiap gampong di Aceh wajib memiliki meunasah. Meunasah
ini dipimpin langsung oleh imuem meunasah. Meunasah berfungsi
untuk pelaksanaan ibadah seperti shalat fardhu berjamaah dan kegiatan sosial
keagamaan yang dilakukan oleh gampong masing-masing. Selain itu meunasah
juga sebagai tempat untuk balai pengajian, tempat tidur untuk pemuda-pemuda
yang masih lajang, dan tempat menginap para musafir. Untuk kegiatan keagamaan
diambilalih oleh imuem meunasah sedangkan kegiatan sosial dipimpin
langsung oleh geuchik. Begitulah adat yang dipraktikkan oleh orang Aceh.
Di tingkat pemerintahan gampong
ada yang namanya seuneubok, yaitu suatu organisasi petani yang berwenang
mengurus masalah perekonomian tingkat gampong. Seuneubok ini
dipimpin oleh peutua seuneubok. Peutua seuneubok tidak berhak mencampuri
urusan keagamaan dan sosial di tingkat gampong. Tetapi seuneubok
boleh bekerjasama dengan mukim, uleebalang bahkan Sultan untuk
urusan perekonomian.
Kemudian Sultan Iskandar
Muda menentukan bahwa gampong-gampong yang berdekatan penduduknya wajib
melakukan sembahyang berjamaah pada setiap hari Jum’at di sebuah mesjid. Mesjid
merupakan tempat ibadah bagi satu mukim dan mukim ini merupakan
satu kesatuan wilayah gampong yang secara geografis salig berhubungan.
Kepala dari mukim
haruslah disebut imuem mukim yang bertindak juga sebagai imam sembahyang
jum’at. Pada tiap-tiap mukim oleh Sultan ditetapkan haruslah 1000 orang
laki-laki yang dapat memegang senjata. Ini tentunya dimaksudkan untuk
kepentingan politis, yaitu untuk memudahkan menghimpun tenaga-tenaga tempur
bila ia mengadakan suatu peperangan. Dalam perkembangannya fungsi dari imuem
mukim kemudian berubah menjadi kepala pemerintahan dari sebuah mukim.
Jadi kepala mukim mengkoordinir geuchik-geuchik di wilayahnya.
Dengan berubahnya fungsi tersebut maka imuem mukim berganti nama menjadi
kepala mukim. Sedangkan tugas untuk imam shalat jum’at diserahkan kepada
imuem mesjid. Imuem mesjid memainkan peranannya di bidang
keagamaan tingkat mukim.
Bentuk wilayah kekuasaan
yang lebih besar dari mukim adalah nanggroe. Di Aceh Besar, nanggroe
adalah gabungan dari beberapa mukim yang dikepalai oleh seorang uleebalang.
Di luar daerah Aceh Besar, yaitu di daerah-daerah yang termasuk dalam kekuasaan
Kerajaan Aceh, statusnya juga disamakan dengan nanggroe. Gelar penguasa
di daerah itu juga disebut uleebalang, tetapi ada juga yang memakai
gelar Sultan, Syahbandar dan lain sebagainya menurut kebiasaan di daerah itu. Uleebalang
menerima langsung kekuasaan dari Sultan Aceh dan di daerah kekuasaannya mereka
memerintah secara turun-temurun. Namun sewaktu mereka akan memangku jabatan
sebagai pimpinan di daerahnya, mereka harus disahkan pengangkatannya oleh
Sultan Aceh. Di dalam surat pengangkatan itu harus terdapat tanda atau cap
stempel Kerajaan Aceh yang disebut cap sikureung atau cap sembilan.
Tugas uleebalang
adalah memimpin nanggroenya dan mengkoordinir tenaga-tenaga tempur dari
daerah kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu juga menjalankan
perintah-perintah atau intruksi dari Sultan, menyediakan tentara atau
perbekalan perang bila dibutuhkan oleh pemerintah pusat dan membayar upeti
kepada Sultan Aceh. Meskipun demikian mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin
yang sangat berkuasa di daerah mereka sendiri. Mereka memonopoli kekuasaan bagi
dirinya sendiri di wilayah kekuasaannya. Mereka juga memiliki wewenang untuk
melakukan apa saja dalam wilayahnya, seperti dalam hal pengadilan atau
melaksanakan hukuman. Dalam hal ini masa Sultan Iskandar Muda dibuat suatu
ketentuan tentang hukuman-hukuman tertentu yang hanya beliau yang berhak
melakukannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan para uleebalang
dalam menjatuhkan hukumannya.
Dengan penuh kebijaksanaan
Sultan Iskandar Muda dapat menguasai para uleebalang dengan adil. Nanggroe-nanggroe
di bawah pimpinan uleebalang dapat dikoordinir sebagai suatu kekuatan
politik maupun ekonomi. Mereka diikutsertakan dalam kegiatan kerajaan, seperti
ekspansi militer, dan melakukan pengawasan terhadap monopoli dagang atas barang
dagangan tertentu berdasarkan ketentuan dan ketetapan Sultan. Sehingga tidak
pernah terdengar adanya pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para uleebalang-uleebalang
itu.
Ibukota nanggroe berkedudukan
di Bandar Aceh Darussalam. Kepala pemerintahan nanggroe adalah
Sultan yang pada masa itu adalah Sultan Iskandar Muda. Dalam mengendalikan
pemerintahan, Sultan Iskandar Muda dibantu oleh beberapa pembantu yang
membawahi bidangnya masing-masing. Ada 24 lembaga sesuai jabatannya
masing-masing yang dibentuk oleh Sultan untuk membantu jalannya roda pemerintahan.
Ke-24 kabinet pemerintah tugasnya mengontrol kehidupan rakyat dan harus
mempertanggungjawabkannya di hadapan Sultan.
Dalam Qanun Meukuta
Alam, Sultan Iskandar Muda harus tunduk kepada qanun, sedangkan Qadli
Malikul Adil, Mufti Empat Besar, Kerukun Katibul Muluk, dan Perdana Menteri
serta sekalian menteri Kerajaan Aceh tunduk kepada qanun dan Sultan.
Ke-24 lembaga tersebut
dipegang oleh orang-orang tertentu yang diangkat oleh Sultan. Di antara mereka
ada lima orang yang membawahi lembaga masing-masing yang sangat dekat dan besar
pengaruhnya kepada Sultan. Yang pertama ialah Perdana Menteri yang bergelar Orang
Kaya Maharaja Seri Maharaja, dialah yang membawahi wazir-wazir atau
menteri-menteri di Kerajaan Aceh. Jabatan Qadli ini diadakan pertama kali di Kerajaan
Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sehingga pada mulanya dalam
menjalankan tugasnya, Qadli Malikul Adil ini banyak dipengaruhi oleh
kebijaksanaan Sultan. Dan boleh dikatakan pada masa itu Qadli ini lebih
merupakan sebagai ketua pengadilan milik Sultan. Pada waktu itu Sultan
melakukan pemisahan antara pelaksanaan pelaksanaan pengadilan yang mengenai
agama dan yang mengenai adat. Jadi pengaturan mengenai hukum agama dipisahkan
dengan peraturan bidang adat. Qadli yang pertama di Aceh adalah Tjut Sandang
atau disebut juga dengan Dja Bangka. Ia berasal dari golongan Dja Sandang.
Dalam sehari-hari panggilannya sesuai gelar yaitu Qadli Malikul Adil.
Untuk urusan peperangan
yang mengatur angkatan perang Aceh adalah Menteri Peperangan dengan sebutan Orang
Kaya Laksamana. Orang penting lainnya yang berpengaruh adalah Syamsuddin
as-Samtrani. Ia disebut juga Imam Muluk (Imam Raja). Syamsuddin adalah seorang
guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf beraliran wujudiyah yang
sebelumnya diajarkan oleh Hamzah Fansuri. Sultan Iskandar Muda sendiri adalah
salah seorang pengikut ajaran ini. Posisi lain yang dekat dengan Sultan adalah
Sekretaris Kerajaan atau lazim disebut Keurukon Katibul Muluk. Tugasnya
adalah sebagai juru tulis Sultan yang berhubungan dengan kepentingan kerajaan,
seperti surat-menyurat dengan kerajaan lain, surat lisensi, dan surat-surat
pengangkatan uleebalang.
Dalam memerintah kerajaan,
Sultan Iskandar Muda membuat ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan situasi
zamannya. Dia menciptakan beberapa hak istimewa yang hanya dia yang berhak
melakukannya. Misalnya hak-hak dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang
bersalah di kerajaannya. Iskandar Muda mempunyai hak memotong tangan pencuri
yang ditangkap. Hak menusuk orang-orang bersalah dengan sebuah galah, hak
mempertontonkan seseorang yang dihukum mati dengan dijepit di antara dua batang
kayu yang dibelah, hak menyayat daging seseorang yang kena hukum dan hak
menumbuk kepala seseorang yang bersalah dengan sebuah alu. Selain hak-hak tersebut,
Iskandar Muda juga mempunyai hak-hak istimewa lainnya, yaitu hak membunyikan
meriam pada saat matahari terbenam, hak untuk dipanggil dengan nama daulat dan
hak membuat mata uang. Dengan adanya hak-hak istimewa ini, khususnya hak dalam
menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang bersalah, maka keamanan dalam
negeri dapat terjamin. Selain itu juga sifat kesewenang-wenangan para
uleebalang dalam menjatuhkan hukuman terhadap kawula di daerah dapat dikurangi.
Sekarang model
pemerintahan seperti di atas sudah tak ada lagi. Gampong dan meunasah
sekarang sudah kehilangan marwah. Padahal gampong dan meunasah
ibarat ayah dan ibu yang mengayomi anak-anaknya. Malah sekarang geuchik dan
imuem meunasah saling mencari popularitas di mata masyarakat. Kita juga
sudah tak mengenal lagi adanya wilayah kemukiman – ada beberapa daerah yang
masih menganut sistem kemukiman – dan istilah-istilah seperti Imuem Mukim,
Panglima Sagoe, dan sebagainya malah terasa asing (bahkan kuno) terdengar.
Kita lebih kerap mendengar kata-kata lurah, camat, bupati, atau gubernur yang
lebih modern. Hancurnya tatanan pemerintahan ini dicurigai berbagai pihak untuk
menghilangkan adat Aceh.
b. Hukum dan Pengadilan Adat
Dahulu di Aceh terdapat
pengadilan adat yang bertugas untuk mengadili rakyat yang telah melanggar hukum
adat. Pengadilan adat ini biasanya diketuai oleh uleebalang dan panglima
sagoe (khusus wilayah Aceh Besar, kedudukannya lebih tinggi dari
uleebalang). Sedangkan untuk pengadilan tertinggi dipimpin oleh Sultan Aceh
dengan wakilnya Qadli Malikul Adil.
Proses pengadilan dan
pengambilan keputusan didasarkan pada hukum Islam dan adat-istiadat sehingga
vonis yang dijatuhkan benar-benar tepat sasaran. Untuk kasus kecil biasanya
diselesaikan oleh geuchik bersama imuem meunasah yang dibantu
oleh tetua kampung (tuha peut). Kasus seperti ini diakhiri dengan
perdamaian (hukom peujroh) yang berpedoman pada empat langkah : diyat,
maaf, rujuk, dan bela.
Apabila pada tingkat geuchik
belum selesai, maka berkas kasus dilimpahkan ke tingkat mukim. Geuchik
bersama jajarannya mengantar langsung kepada mukim untuk
ditindaklanjuti. Kasus seperti ini biasanya berbentuk persengketaan yang tidak
melebihi angka 100 ringgit pada masa itu. Sebelum pengadilan dimulai, penuntut
harus membayar uang jaminan.
Jika penuntut tidak puas
dengan hasil pengadilan tingkat mukim, penuntut boleh naik banding pada
tingkat Pengadilan Uleebalang. Khusus untuk wilayah Aceh Besar pada masa
Pemerintahan Ratu Naqiatuddinsyah (Sultan perempuan kedua Aceh), kasus yang
tidak dapat diselesaikan boleh diteruskan kepada Pengadilan Panglima Sagoe.
Dan tentunya biaya yang harus dikeluarkan lebih mahal sesuai dengan tingkat
pengadilannya. Ketika Pengadilan Panglima Sagoe juga tidak mampu
menyelesaikan kasus persengkataan, maka Panglima Sagoe melimpahkan
kepada Sultan Aceh. Atas kebijaksanaan Sultan, maka beliau melimpahkan kasus
tersebut kepada Qadli Malikul Adil untuk disidangkan dan keputusan akhir dari
pengadilan ini tidak boleh diganggugugat.
Di bawah ini dicontohkan
tentang bagaimana proses hukum yang pernah dijalankan pada masa itu :
Di Aceh, riba dilarang
oleh kerajaan, tidak sama dengan Batam yang memungut bunga 5% sebulan dan
dengan jaminan. Di Aceh tidak boleh melebihi 12% setahun dan tanpa jaminan.
Jika seseorang tidak membayar hutangnya, penagihnya boleh mengajukannya ke
pengadilan dan kalau di sana memang dapat dibuktikan bahwa sebenarnyalah ia
berhutang dengan cara yang sah, maka ia diharuskan membayar hutangnya dalam
jangka waktu pendek. Seandainya ia tidak dapat melunaskannya menurut putusan
hakim, maka ia disuruh datang kembali untuk kedua kalinya, ia ditanyakan apa
sebabnya tidak membayar dan dipaksa melunasinya pada saat itu juga. Jika ia tak
sanggup melakukannya, maka kedua tangannya pun diikat dengan tali rotan di
belakang punggungnya, lalu dilepaskan demikian dan tak seorangpun berani untuk
membukakan ikatan itu karena bisa dihukum mati. Ia diharuskan, menghadap setiap
hari dengan terikat demikian ke muka hakim dan jika ia tetap dalam keadaan
terikat itu serta tak juga sanggup melunasi hutangnya, maka ia diserahkan
sebagai hamba sahaya kepada penagih hutangnya yang berhak memperlakukannya
sekehendak hatinya kecuali membunuhnya, namun boleh menjualnya.
Pengadilan perdata ini
dilaksanakan setiap pagi kecuali hari jum’at di sebuah balai tak jauh dari
mesjid utama, ketuanya adalah salah seorang dari Orang Kaya. Di sebuah
balai lain di dekat pintu istana dilakukan pengadilan pidana, di mana bertindak
sebagai ketua seorang Orang Kaya secara bergiliran. Di sini diadili
perkara kejahatan seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya.
Qadli atau hakim juga
mengadili orang-orang yang tak menjalankan agamanya. Dan di bandar ada sebuah
balai yang mengadili perselisihan antara saudara, baik asing maupun anak negeri
yang dipimpin oleh Orang Kaya Laksamana yang dapat dianggap sebagai
walikota.
Di zaman penjajahan
Belanda, Pengadilan Sultan dan Pengadilan Panglima Sagoe dihapuskan.
Sebagai gantinya dibentuk Pengadilan Meusapat yang dibentuk pada setiap
ibukota kewedanaan. Pengadilan ini lebih banyak didominasi oleh kaum uleebalang
dari kewedanaan setempat. Dan seterusnya pada tiap-tiap ibukota kewedanaan
dibentuk Pengadilan Meusapat yang diketuai oleh Kepala Kewedanaan yaitu
orang Belanda sendiri dengan anggotanya lebih didominasi oleh uleebalang-uleebalang.
Berubahnya beberapa fungsi
pengadilan adat di Aceh telah menyebabkan tingkat kriminalitas meningkat.
Padahal pengadilan adat telah berhasil mengurangi tingkat kejahatan dikarenakan
hukuman yang diterima oleh pelanggar benar-benar mendidik dan mengubah perilaku
jahatnya.
2.2.
HUKUM ADAT BERBASIS
AGAMA
Adat bersendi syara’,
syara’ bersendi adat adalah falsafah yang
menjadi simbol pelaksanaan kehidupan bermasyarakat di Aceh. Ketika hukum adat
kuat, maka hukum agama juga kuat. Begitu juga sebaliknya. Agama bersumber dari
Al-Quran dan hadits, sedangkan adat bersumber dari Sultan dengan musyawarah
yang digali berdasarkan sumber keagamaan. Sehingga banyak adat Aceh yang tidak
lepas dari pengaruh syara’.
Hukum adat berbasis agama sebagai aplikasi kehidupan bermasyarakat sangat
efektif dijalankan. Proses sosialisasi diterapkan seiring pelaksanaannya yang
diikuti oleh seluruh masyarakat karena memang untuk kepentingan bersama. Sultan
Iskandar Muda berhasil merumuskan beberapa rumusan adat Aceh
Dalam tulisan ini ada beberapa ketentuan hukum adat yang berbasiskan agama
sebagai bahan muqaranah (perbandingan) terhadap penerapan syari’at Islam
model pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Walaupun sekarang adat seperti ini
mulai memudar – bahkan tidak digunakan lagi sama sekali – tetapi sejarah
membuktikan bahwa efisiensi hukum adat bagi masyarakat Aceh sangat sesuai
dengan hukum agama. Tidak ada sedikit pun penyimpangan hukum agama dalam
tatanan adat Aceh.
Maka adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat adalah serupa tubuh dan
ruh. Dua-duanya harus saling berkesinambungan menjadi satu kesatuan utuh
sebagai pedoman hidup masyarakat Aceh. Bukti nyata dari adagium tersebut adalah
minimnya tingkat pelanggaran adat maupun agama yang dilakukan oleh orang Aceh.
Hal ini erat kaitannya dengan hukuman berat yang harus diterima oleh para
pelanggar.
Berikut penulis memberikan beberapa contoh hukum adat berbasis agama yang
pernah diterapkan di Aceh disertai hukumannya. Contoh-contoh di bawah ini tidak
lepas dari aktualisasi penerapan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang sedang disosialisasikan oleh Pemerintah Daerah.
Anak muda yang berpacaran
pada masa itu dinamakan manok ek eumpueng, artinya ayam naik ke
sangkarnya. Atas mandat geuchik dan imuem meunasah, kepala pemuda
berhak menindak muda-mudi yang saling berpacaran. Selain berpacaran, adat juga
melarang beberapa hal seperti :
· pemuda dan pemudi saling berhubungan akrab,
saling mengirim surat cinta, mengajak pemudi berjalan-jalan (meuramien) sebelum
mereka menikah
· bertamu ke rumah orang tanpa ada orang
laki-laki atau isterinya
· mengunjungi seorang janda muda tanpa muhrimnya
· duduk-duduk di tangga rumah orang lain tanpa
maksud dan tujuan (dulu rumah adat Aceh masih berbentuk rumah panggung)
· berjalan-jalan di bawah rumah orang lain tanpa
maksud dan tujuan
· masuk ke sumur orang lain tanpa izin (sumur
orang Aceh dulu biasanya terletak diluar rumah)
· berbicara masalah yang tidak perlu dengan
isteri orang atau perempuan janda
· berkelakar dengan seorang gadis muda di luar
norma kesopanan
· dilarang berbicara hal-hal yang bisa
membangkitkan nafsu birahi
Akan tetapi bila ternyata ada seorang pria
telah jatuh cinta atas seorang perempuan begitu juga sebaliknya, maka
diusahakan supaya pria dan perempuan ini dapat dinikahkan saja.
Ketika pihak berwajib
telah mencurigai seorang pemuda telah berhubungan cinta dengan seorang
perempuan, sehingga ada salah satu perbuatan mereka yang telah melanggar adat,
maka geuchik atau imuem meunasah berikhtiar supaya mereka dapat
dinikahkan saja oleh imam meunasahnya. Perkara ini tidak dibawa ke
pengadilan, tetapi diselesaikan dengan cara damai. Orang Aceh pada umumnya suka
memilih alternatif damai. Sehingga dendam-mendendam antara sesama tidak terjadi
karena perbuatan ini sangat merugikan.
Kasus zina yang tidak mungkin
diselesaikan secara damai diperiksa oleh pihak berwajib dan akhirnya diserahkan
pada pengadilan di bawah pimpinan Sultan, karena berat ancaman hukumannya.
Selama adanya Kerajaan
Aceh Darussalam, hukuman rajam sampai mati bagi penzina pernah dua atau tiga
kali diajatuhkan oleh Pengadilan Sultan di Banda Aceh. Rakyat Aceh cukup gentar
mendengar hukuman itu, oleh karena itu mereka ingin menghindari diri dari
hukuman yang mengerikan itu dengan tidak melakukan zina. Jika zina terjadi
juga, maka dengan diam-diam geuchik dan imuem meunasah yang
bersangkutan menyelesaikan dengan cara damai yaitu mereka itu dikawinkan. Hal
ini juga sesuai dengan istilah Aceh nibak mirah blang, bah mirah juree, artinya
daripada merah sawah, lebih baik merah kamar, maksudnya daripada laki-laki dan
perempuan itu hidup tidak karuan, lebih baik dikawinkan.
Seorang perempuan yang
telah bersuami, jika kedapatan berzina dengan laki-laki lain dan tertangkap
basah, biasanya suaminya membunuh mati gendak dari istrinya dan isterinya itu
sekurang-kurangnya dilukai. Ia bertindak sebagai hakim sendiri dan tak ada
bantahan. Pihak berwajib hanya berupaya agar prosesi yang dilakukan oleh
suaminya tidak mengganggu keamanan. Di zaman penjajahan Belanda hal tersebut
telah diubah. Orang dilarang menjadi hakim sendiri, meskipun si penzina
tertangkap basah. Orang yang membunuhnya dihadapkan juga ke Pengadilan
Meusapat yang bersangkutan. Walaupun vonis orang yang membunuh isterinya
itu tidak berat malah ada juga yang dibebaskan.
Pemuda yang masih perjaka
dan pemudi yang masih gadis dan merdeka, bila berzina di samping mendapat
hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, juga diusir oleh pihak berwajib dari
tempat tinggalnya. Mereka harus pindah ke negeri lain. Sudah menjadi kebiasaan
juga mereka dikawinkan dan tidak mau balik lagi ke kampungnya karena merasa
malu. Hal yang serupa ini hampir tidak pernah terjadi. Kasus seperti ini juga
dapat diselesaikan di kampung dengan cara damai dengan cara mengawinkan mereka.
Berzina dengan orang gila
dapat juga dikenakan hukuman sesuai dengan tingkatan zinanya. Meu adoe
angkat yang disebut liwath juga tidak pernah terjadi di Aceh. Pihak
yang membenci Aceh mungkin memprovokasi orang Aceh untuk berbuat demikian,
sehingga Aceh menjadi jatuh martabatnya di bangsa lain. Mereka mengatakan bahwa
orang yang berseudati tidak dapat dipercayai mengenai hal itu, padahal
ketertiban berseudati dahulu cukup mendapat pengawasan dan penjagaan.
Pengawasan ini langsung dikoordinir oleh geuchik, imuem meunasah
dan orang-orang kampung yang bersangkutan.
Di masa penjajahan
Belanda, adat-adat Aceh untuk mencegah terjadinya perzinaan tidak begitu
dihiraukan. Ada di antara orang Aceh yang masih menaati dan ada pula yang
mengabaikannya. Karenanya kemungkinan terjadi perzinaan meningkat. Mereka diseret
ke pengadilan dan mendapat hukuman tetapi tidak membuat masyarakat menjadi
takut. Mereka dipersalahkan karena telah melanggar adat yang kira-kira serupa
dengan tercantum dalam suatu pasal dari Wetboek van Strafrecht (KUHP).
Solusinya (hidup sebagai suami isteri tanpa kawin yang sah) dilakukan oleh
bangsa-bangsa asing dengan perempuan Indonesia. Hukum adat tidak berlaku atas
mereka. Sejak berdiri Republik Indonesia perbuatan dimaksud sudah lenyap,
karena masyarakat Aceh tidak menyukainya. Perbuatan ini jelas-jelas melanggar
adat Aceh.
Sejak itu sedikit demi sedikit adat Aceh mengalami trasnformasi besar-besaran.
Adat Aceh semakin melemah dan itu memudahkan budaya asing melemahkan kehidupan
masyarakat. Banyak contoh budaya asing yang dilakukan oleh orang Aceh, seperti
pacaran, hubungan laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, dan menjamurnya
rumah hiburan malam. Pelanggaran zina sudah dianggap sebagai hal yang lazim
bagi orang Aceh.
Mencuri
Di Kerajaan Aceh
Darussalam untuk orang mencuri dijatuhkan beberapa hukuman, yaitu :
-
hukuman potong tangan yang syaratnya barang yang dcuri itu tersimpan dalam
tempat yang terpelihara
-
had yang syaratnya barang curian seharga sekurang-kurangnya empat dinar pada
masa itu
Mencuri barang yang lekas rusak kalau harganya
sampai nisab, dijatuhkan hukuman had juga. Yang mencuri buah-buahan orang yang
dipetik dari pohon-pohon yang tidak dipelihara, diwajibkan atas yang memetiknya
membayar harganya saja. Untuk orang yang mengingkari barang-barang taruhan,
tidak dipotong tangannya.
Apabila dua orang
bekerjasama untuk mencuri, misal seorang masuk ke dalam dan yang seorang lagi
di luar, yang dipotong tangannya adalah orang yang masuk ke dalam. Bila seorang
mencongkel jendela rumah orang lain dan masuklah orang lain pula yang tidak
melubangkan dinding itu, lalu mengeluarkan barang, maka tiada dipotong
tangannya. Dipotong tangan orang mencari mushaf, pencuri kain kafan dengan
membongkar kuburan.
Pencuri untuk pertama kali
dipotong tangan kanannya dan jika mencuri lagi dipotong kaki kirinya. Mencuri
ketiga kalinya dipotong tangan kirinya, sementara kali yang keempat dipotong
kaki kanannya.
Harta yang dicuri, kalau
masih dijumpai pada yang mencuri, haruslah dikembalikan pada pemiliknya. Suami
isteri yang mencuri harta salah seorang keduanya yang disimpan ditempat yang
aman, dipotong tangan yang mencuri itu. Tiada dipotong tangan orang tua (ayah
atau ibu) yang mencuri harta anaknya. Kerabat yang mencuri harta kerabatnya
juga dipotong tangannya. Orang yang menghancurkan sesuatu patung emas, tidak
disuruh ganti kerugian itu. Tetapi orang yang mencuri patung emas dipotong
tangannya. Orang yang mencuri kain di pemandian umum yang mempunyai penjaga
juga dipotong tangannya. Orang yang mencuri barang curian atau barang yang
berasal dari perampokan, tidak dipotong tangannya. Memotong tangan pencuri
diperlukan tuntutan orang yang dicuri hartanya. Seluruh fenomena di atas sesuai
dengan hukum syara’.
Pada masa itu orang sangat takut mendengar hukuman yang dijatuhkan kepada
pencuri. Karena beratnya hukuman rakyat selalu menghindari perbuatan mencuri.
Untuk mencegah perbuatan mencuri, dalam kehidupan rakyat Aceh dahulu hidup
beberapa adat yang wajib dijalankan.
Masyarakat dari suatu kampung diharuskan membantu/memberi suatu pekerjaan
kepada orang yang tidak mempunyai pekerjaan dalam kampung mereka. Maka di zaman
itu tingkat pengangguran di Aceh sangat minim. Aceh sangat luas daerahnya yang
siapa pun bisa mencari nafkah baik dari bertani, berladang maupun menjadi
nelayan.
Apabila ada orang yang malas bekerja, orang tersebut biasanya hanya disuruh
menjadi pelayan saja dalam berdagang. Ada juga di antara orang yang malas ini
dibawa ke seuneubok lada untuk dijadikan pekerja dengan mendapat bantuan
hutang pangkal.
Pemerintah menjaga keras agar semua rakyatnya mengeluarkan zakat yang telah
diwajibkan hukum Islam tiap tahun. Imuem meunasah dan geuchik
bekerjasama dalam hal ini, sehingga tidak ada wajib zakat yang tidak
mengeluarkan zakat dari segala macam hartanya yang sudah mencapai nisabnya.
Yang berhak menerima zakat menurut ajaran Islam menerima haknya masing-masing.
Yang tidak mendapat boleh meminta haknya kepada imuem meunasah dan geuchik
yang bersangkutan.
Masyarakat Aceh memandang hina sekali terhadap orang yang malas sehingga mereka
digelarkan si beu-o artinya se pemalas. Suatu hadih maja ini
ialah bak si beu-o uteuen pi luah, bak si malah dakwa pi raya. Nabi
Muhammad SAW selalu menganjurkan umatnya supaya bekerja keras, seolah-olah ia
hendak hidup seumur dunia dan harus bersungguh-sungguh mengerjakan ibadat
seakan-akan ia hendak mati esok. Terhadap orang pemalas, masyarakat selalu
waspada dan selalu mengucilkannya dengan maksud agar ia insaf dan mau bekerja
seperti orang lain. Malah peutua seunobok senantiasa mengajak
pemalas-pemalas agar mereka bersedia menjadi aneuk seunuboknya masing-masing.
Jangan seperti ungkapan “Leumo eh di yub trieng”, artinya sapi tidur di
bawah pohon bambu, memakan daun bambu dan tidak mau berusaha. Julukan seperti
ini juga pantas diberikan kepada orang-orang pemalas. Karenanya pemalas-pemalas
menjadi malu dan bekerja semampu mungkin.
Dengan demikian, penyakit
mencuri dapat dibasmi/diminimkan sampai sekecil-kecilnya di Aceh. Selain dari
itu, untuk mencegah orang mencuri pihak berwajib melakukan patroli untuk
menghindari orang yang masuk ke kebun orang lain tanpa izin pemiliknya atau
penjaganya. Ada beberapa aturan adat yang dilarang, seperti masuk ke pekarangan
rumah orang dengan tidak mendapat persetujuan dari penghuni rumah, masuk ke
kampung lain pada larut malam, memasuki tambak ikan orang tanpa izin dari
pemeliharanya dan sebagainya.
Adat Aceh mengharuskan orang kaya untuk menyerahkan binatang ternak kepada
orang miskin untuk dipelihara dengan perjanjian akan membagi hasilnya. Orang
kaya juga wajib membantu kerabatnya yang sedang membutuhkan sesuatu, misalnya
padi atau hasil perkebunan. Hal ini berguna untuk mengurangi tingkat pencurian
di Aceh.
Namun walaupun hukum adat sangat ketat untuk membendung pencurian, bukan tidak
mungkin ada orang yang mencuri juga. Jika hal ini sampai terjadi, maka
perkaranya didamaikan secara adat oleh juru damai. Barang yang dicuri
dikembalikan kepada pemiliknya dan jika tidak ada lagi maka wajib
menggantikannya. Posisi juru damai ini sangat berpengaruh dalam prosesi sebuah
perkara. Orang Aceh memilih perdamaian sebagai alternatif untuk mencari solusi
dari bermacam persengkataan. Karena ada hadih maja yang berkembang “bek
geupek-pek ulee gob”, jangan suka mengadu domba orang lain.
Jelaslah bahwa adat Aceh sangat berperan besar terhadap penyelesaian kasus
pencurian melalui jalur damai sebelum putusan kasusnya diputuskan. Oleh
karenanya hukum adat berbasis syara’ sangat dihormati oleh masyarakat secara
menyeluruh.
Tetapi sejak pudarnya adat-istiadat Aceh, kasus pencurian dan pengangguran
meningkat drastis. Padahal negeri Aceh menyimpan kekayaan alam yang melimpah.
Kediktatoran pemerintah orde lama dan orde baru yang mengeksploitasi kekayaan
Aceh menyebabkan negeri Aceh termasuk provinsi termiskin di Indonesia.
Pencurian dan pengangguran terjadi di mana-mana sehingga masyarakat merasa
resah dan kurang tenteram. Pemerintah pusat juga membatasi hukum adat di negeri
sendiri, yang dijalankan adalah hukum berdasarkan pemerintah pusat.
Merampok
Perampokan tidak pernah terdengar di Aceh pada zaman dulu, karena perbuatan ini
bukan saja berdosa menurut ajaran Islam tetapi juga adat Aceh yang mengutuk
perbuatan keji ini. Masyarakat Aceh menghina orang yang melakukan perampokan
sampai kepada keturunannya, sehingga mereka menghindarkan diri dari perbuatan
tersebut. Orang asing suka menuduh orang Aceh merampok barang-barang mereka di
lautan, namun hal ini tidak masuk akal karena orang Aceh sangat takut pada
Allah. Kalaupun ada yang mengambil barang-barang mereka itu hanya dilakukan oleh
pihak berwajib sebagai barang sitaan disebabkan mereka telah melanggar
peraturan dari Kerajaan Aceh.
Orang yang merampok dinamakan orang Aceh si meurampah. Nama ini adalah
suatu nama penghinaan menurut adat. Pada masa Aceh berperang dengan Belanda,
bukan tak ada pula rakyat Aceh yang mengambil harta orang lain yang berhubungan
dengan Belanda atau kaki tangan si Belanda. Mereka menuduh bahwa orang Aceh
telah merampok harta-harta mereka.
Pada hakikatnya orang Aceh suka hidup rukun terutama sesama Islam. Memberi
salam sesama muslim selalu dilakukan orang dan mendapat sambutan dengan baik.
Mereka bersedia perkaranya diselesaikan secara damai. Tetapi mereka tetap
menentang orang yang menghinanya atau mengganggu harta bendanya apalagi dengan
kekerasan. Ini telah menjadi suatu kebiasaan baginya. Mereka bersabar menurut
ajaran agamanya tetapi ada batasannya. Suatu istilah untuk ini ialah nibak
malee bah le mate, yaitu daripada malu lebih baik mati.
Istilah tersebut sekarang hanya menjadi bagian sejarah masa lalu. Orang Aceh
terang-terangan melakukan perampokan. Mereka tidak takut lagi dengan hukuman
yang dijatuhkan. Banyak pejabat Aceh yang melakukan perampokan namun tidak ada
yang dihukum karena hukum Indonesia sangat mudah dipermainkan. Berbeda dengan
hukum adat yang jelas rumusan dan hukumannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal
penting, yaitu :
1.
Adat Aceh adalah sumber hukum yang menjadi
sendi kehidupan masyarakat. Kuatnya posisi hukum adat berindikasi terhadap
kuatnya seluruh aspek kehidupan masyarakat. Implementasi hukum adat adalah
sebuah gambaran itikad baik pemerintah dan rakyatnya untuk melaksanakan
peraturan adat yang tidak lepas dari ajaran Islam.
2.
Adat berbasis agama yang pernah diterapkan di
Aceh terbukti mampu memakmurkan kesejahteraan masyarakat. Adat mendidik dan
mengayomi kepentingan masyarakat dan pemerintah sehingga vitalitas kepentingan
tersebut tercakupi. Output adat berbasis agama adalah lahirnya struktur budaya
masyarakat yang kuat dan berkompetensi.
3.
Aplikasi syari’at Islam secara kaffah pasca
otonomi khusus belum memperoleh hasil siginifikan. Hal ini terlihat dari
tumpang-tindihnya format dan konsep yang diterapkan. Ada upaya untuk
mengembalikan syari’at Islam seperti yang dipernah diterapkan dulu, namun jika
posisi adatnya lemah diprediksikan penerapan syari’at Islam akan memperoleh
kendala.
B. Saran
Untuk dapat mengembalikan harkat dan martabat
masyarakat Aceh di mata bangsa lain, maka penulis mengemukakan beberapa saran
untuk dapat dipertimbangkan :
1.
Perlu adanya upaya untuk dapat meningkatkan
peran dan posisi adat yang selama ini melemah
2.
Perlu ditingkatkan peran dan fungsi lembaga adat
untuk dapat menggali kembali nilai-nilai budaya orang Aceh dan
mengimplementasikannya dalam bentuk kajian budaya praktis
3.
Menuntut peran dan ketegasan pemerintah dalam
upaya menjalankan hukum sesuai ajaran Islam
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad, Rusydi, Revitalisasi
Syari’at Islam Di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi, Jakarta, Logos
Wacana Ilmu, 2003
Djajadiningrat, Hoesein,
dkk, Dari Sini Ia Bersemi, Banda Aceh, Pemda Istimewa Aceh, 1981
Hoesin, Moehammad, Adat
Atjeh, Banda Aceh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh, 1970
Mohammad, Said, Atjeh Sepandjang Abad, Medan,
1961
Tabloid Dwi Mingguan Saleum, Edisi 2 Tahun I,
15 – 31 Agustus 2006
Van’t Veer, Paul, Perang
Belanda di Aceh (terjemahan oleh Aboebakar), Banda Aceh, Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977
Tidak ada komentar:
Posting Komentar