Selasa, 03 Februari 2015

Makalah Hukum Islam Dan Kekerasan Terhadap Perempuan



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang Masalah
Perlakuan semena-mena terhadap perempuan baik yang ditujukan terhadap fisik, psikis maupun seksual kiranya telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu atau seusia peradaban manusia. Kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik di lingkungan sendiri (domestik) maupun lingkungan luas (publik). Namun kekerasan terhadap perempuan yang paling menyedihkan apabila terjadi di dalam lembaga perkawinan, lembaga yang disakralkan dan bertujuan luhur.


Oleh karena itu perlu dikaji lebih mendalam tentang kekerasan suami terhadap istri baik dari sisi hukum islam maupun hukum positif. Baik hukum islam maupun hukum positif tidak membenarkan terjadinya tindak kekerasan di dalam rumah tangga. Namun, yang masih menjadi perdebatan adalah makna kekerasan itu sendiri yang sangat bersifat abstrak dan bergantung kepada individu dan norma masyarakat. Bentuk-bentuk kekerasan biasanya meliputi kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan psikologis dan kekerasan berlapis. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dapat dilihat dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tetapi tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut: alkohol dan obat-obatan terlarang, ekonomi, perselingkuhan, psikologis, pemaham yang keliru terhadap ajaran agama, adanya pihak ketiga, perilaku istri yang menyimpang. Sedangkan faktor eksternal dilihat dari budaya masyarakat yang memandang istri sebagai interior dan masih kurangnya perlindungan hukum. Di samping itu, akar permasalahan kekerasan umumnya berawal dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pasangan suami istri baik pra nikah maupun sesudah pernikahan. Padahal Islam telah mengajarkan hak dan kewajiban bagi keduanya, yang apabila benar-benar dipahami dan dilaksanakan maka tidak akan ada kekerasan rumah tangga. Keefektifan hukum Islam sangat tergantung kepada pemahaman dan pelaksanaan ajarannya dengan kaffah, atau dengan kata lain pada ketaatan masing-masing individu dalam keluarga sebagai sub sistem dari masyarakat, yang pada akhirnya membentuk suatu masyarakat anti kekerasan. Sedangkan, efektivitas hukum positif sangat bergantung kepada peraturan dan penegak hukum yang kemudian memberi pengaruh kepada masyarakat dan keluarga.

1.2.    Rumusan Masalah
1.      Mengetahui pengertian tentang kekerasan
2.      Mengetahui faktor penyebab terjadinya kekerasan
3.      Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang menimpa perempuan di mana pelakunya harus diberi sanksi yang tegas
4.      Memahami pandangan Islam terhadap kekerasan
5.      Teologi anti kekerasan terhadap perempuan
6.      Relasi suami istri dalam rumah tangga

1.3.    Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita dapat mengetahui dan memahami penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan memahami pandangan Islam dalam menyikapi kekerasan, sehingga kita dapat berbenah diri dimulai dari sekarang untuk berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah sebagai upaya terhindar dari kekerasan dan berusaha memecahkan masalah dengan cara yang bersahabat.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Pengertian Kekerasan
Kekerasan adalah tindakan-tindakan kriminalitas (jarimah) yang terjadi pada seseorang. Pengertian kriminalitas atau jarimah dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam sehingga yang disebut kejahatan adalah perbuatan-perbuatan tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara. Inilah standar penting untuk menilai apakah perbuatan tersebut termasuk kriminalitas atau tidak. Dengan demikian dalam pandangan Islam, kejahatan bukanlah persoalan laki-laki atau perempuan, atau masalah menyetarakan hak laki-laki atau perempuan bukanlah itu inti persoalan. Menuduh wanita berzina tanpa bukti, dihukum oleh Islam. Perkara ini termasuk qodzaf, dimana pelakunya bisa dihukum 80 kali cambukan (Q.S. An-Nur: 4). Sama halnya dengan pelacuran, dianggap tindakan kriminalitas dalam Islam, di mana wanita yang melakukannya akan diberikan sanksi hukum, demikian juga lelakinya yang pezina.
Islam tidak memandang apakah korban atau pelakunya laki-laki atau perempuan. Bukan berarti karena kekerasan itu menimpa wanita, yang melakukannya tidak dihukum. Baik dia laki-laki atau perempuan siapapun yang melakukannya akan dihukum. Pelacuran, bagaimana pun tetap perbuatan tercela, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Poligami tidak bisa disebut kekerasan terhadap wanita. Sebab perkara ini tidak dilarang oleh syariat Islam. Tapi menyakiti wanita dengan memukulnya sampai terluka adalah merupakan kekerasan terhadap wanita, baik dia monogamy atau poligami. Karena memukul wanita sampai dirinya terluka adalah perbuatan melanggar hukum aturan Allah SWT.
Definisi KDRT sangat luas, yaitu “semua tindakan terhadap perempuan atau kelompok yang terkoordinasi lain yang mengakibatkan atau mungkin mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual, ekonomi, dan atau psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan tindakan seperti itu. Pemaksaan atau menghilangkan kebebasan secara sepihak, dalam ruang lingkup rumah tangga.
Banyak tindak kekerasan dapat digolongkan sebagai kejahatan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan pelecehan seksual. Setiap bentuk kekerasan didefinisikan secara luas sehingga dapat mengakomodasi berbagai penderitaan yang dialami perempuan atau anak dalam keluarga. Kekerasan fisik, misalnya, meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, luka, atau bekas luka di tubuh seseorang, keguguran, pingsan, dan atau kematian. Kekerasan psikologis adalah tindakan yang mengakibatkan rasa takut, kehilangan percaya diri, kehilangan kemampuan untuk mengambil tindakan, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan jiwa serius.
Kekerasan seksual, termasuk pemaksaan seks terhadap istri, didefinisikan sebagai tindakan pemaksaan seks, pelecehan seks, hubungan seks yang abnormal dan tidak diinginkan, pemaksaan seks untuk maksud komersial dan untuk tujuan tertentu.
Kekerasan ekonomi yang dulu dibatasi hanya pada urusan nafkah kini luas sekali cakupannya, termasuk membatasi atau melarang seseorang bekerja di dalam atau di luar rumah.
Pelecehan seks, yang selama ini dianggap lumrah, kini merupakan kejahatan, ini seperti gurauan tidak pantas yang menyakitkan atu membuat malu, pertanyaan tentang kehidupan seks atau pribadi seseorang, menyentuh, meremas atau memegang bagian tubuh dengan berbagai cara tanpa izin.

2.2.    Faktor Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas. Dan kriminalitas adalah bentuk kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela (al qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara’, bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap wanita harus distandarkan pada hukum syara’.
Dengan demikian, sekali lagi perlu ditegaskan, kejahatan termasuk terhadap wanita, bukanlah perkara gender (jenis kelamin). Artinya, Islam menjatuhkan sanksi bukan melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan. Tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak. Disinilah kekeliruan mendasar, dan kelompok Feminis, yang menganggap kejahatan diukur berdasarkan kepada gender (seks) korban atau pelakunya Mereka membela pelacuran, karena dianggap korbannya adalah wanita. Sebaliknya mereka menuduh poligami kekerasan terhadap wanita, dengan anggapan wanita telah menjadi korbannya.
Di samping itu kejahatan bukan pula sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada din manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun pelakunya. Sehingga dalam Islam homoseksual adalah kejahatan. Tidak bisa dikatakan sifat homoseksual adalah fitri atau penyakit jiwa, sehingga dimaklumi keberadaannya. Tapi homoseksual adalah tindakan seksual yang menyimpang dan syariat Islam. Pelacuran atau artis dangdut yang merangsang, tetap merupakan kejahatan dalam Islam. Tidak bisa dengan alasan ini profesi saya, kemudian hal itu dilegalkan.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan kriminalitas, termasuk terhadap wanita. Pertama, faktor individu. Tidak adanya ketakwaan kepada Allah bisa mendorong seseorang untuk melanggar hukum syara. Karena itu Islam mengingatkan pentingnya ketakwaan individu seseorang.
Kedua, faktor sistemik. Kejahatan sekarang ini tidaklah berdiri sendiri. Bisa faktor ekonomi, orang merampok karena lapar atau mencari uang untuk istrinya yang hamil. Bisa juga faktor politik, seperti kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan alasan memerangi pemberontak atau terorisme. Bisa juga muncul dan pengaturan hubungan pria dan wanita yang salah. Seperti pergaulan bebas, telah menyebabkan munculnya perzinaan. Dapat pula faktor hukum (sanksi) yang tidak membuat orang jera melakukan kejahatan. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan.
Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan hukum syara yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasan dalam rumah tangga juga, kalau hanya dilihat dan istri harus mengabdi kepada suami pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya Daulah Khilafah Islam yang akan menerapkan hukum syara secara kaffah dan menyeluruh.

2.3.    Bentuk-bentuk Kekerasan yang Menimpa Perempuan
Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita di mana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan kejahatan ini bisa saja menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. Berikut ini beberapa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Islam terhadap pelaku:
1.         Qadzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “San orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Q.S. An-Nur [24]: 4-5).
2.         Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT: Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2] : 179)
3.         Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dan Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda: Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi hukumnya adalah tazir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.
4.         Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta (lihat Nidzam al-‘Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
5.         Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal
6.         Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahnian al-Maliki).

Jarimah vs Ta’dib
Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas (jarimah).
Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah SWT. Hal ini sesuai firman Allah SWT yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dan api neraka...” (Q.S. at-Tahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Nah, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.
Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara udah ditempuh) untuk memberi
hukuman/pengertian; tidak boleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dan tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah menganiaya anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik.
Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidal ada uzur (sakit atau haid), maka tidal bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitlan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya Ia luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.
Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah SAW menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dan pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ No 660, 661)
Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Qs. al-Baqarah [2]: 228)


2.4.    Pandangan Islam Terhadap kekerasan dalam Rumah Tangga
Pandangan seperti mi, tentu saja juga didasarkan pada banyak teks-teks hadits Nabi Muhammad SAW. Di antaranya:
Dalam riwayat Bahz bin Hakim bin Muawiyah, bahwa kakeknya bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Kamu berhak menggauli istrimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud, lihat: Ibn al-Atsir, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Iyas bin Ibdillah bin Abi Dzubab ra berkata: “Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!”. Lalu datang Umar ra kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Para istri itu nanti berani (melawan) suami mereka, berikan kami izin untuk tetap memukul mereka”. Tetapi kemudian banyak sekali perempuan yang mendatangi keluarga Rasulullah SAW, mengadukan perilaku suami mereka. Maka Rasulullah saw pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka (para suami yang memukul isteri) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Riwayat Abu Dawud) (lihat: Ibn al-Atsir, juz VII hal. 330, no. hadits: 4719).
Riwayat lain, dalam hadits Bukhari, Muslim, dan at-Turmudzi, dan ‘Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu memukul isterinya, layaknya seorang hamba saja, padahal di penghujung hari, Ia mungkin akan menggaulinya.” (Hadits Riwayat Imam Bukhari, lihat: Shahih Bukhari, Kitab al-Nikah, Ma Yakrahu li dharb al-Nisa’, Nomor Hadits: 4805).
Ini peringatan yang tegas dan Nabi SAW agar suami tidak memukul isterinya. Karena masih banyak cara dan media lain, yang tidak mencederai kemanusiaan perempuan. Tidak sekadar berbicara, Nabi SAW memiliki teladan baik dengan melaksanakan pandangannya itu. Selama hidup berumah tangga, Nabi tidak pernah sekalipun memukul isteri-isterinya. Padahal, perbedaan di antara Nabi dan isteri-isterinya kerap terjadi dan beberapa di antaranya menimbulkan ketegangan hubungan suami-isteri. Namun, Nabi tak sekalipun menempuh cara kekerasan, baik kekerasan fisik, perkataan, psikis, seksual, maupun ekonomi. Seperti yang diceritakan ‘Aisyah ra, dalam suatu hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Abu Diwud:
“Bahwa Rasulullah tak pernah memukul pembantu dan tidak juga perempuan.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Adab, Fi al-Tajawuz fi al-Amri, Nomor Hadits: 4154)

Nabi sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai perbedaan dan perlakuan dan isterinya. Bahkan, Nabi memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan keinginan mereka, memberikan masukan, dan menentukan pilihan yang sesuai dengan harapan mereka. Tanpa ada kata-kata penghinaan, pelecehan, menghardik, apalagi ucapan-ucapan keji dan kotor, Nabi menghadapi mereka dengan kesabarannya.
Dari beberapa teks hadits ini, dengan jelas bisa ditegaskan bahwa kekerasan sama sekali tidak sesuai dengan perilaku, nasehat, dan peringatan Nabi SAW. Pemukulan atau segala bentuk periaku kekerasan lain adalah bertentangan dengan prinsip pergaulan yang baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf), tidak sesuai dengan anjuran penghinaan terhadap perempuan (ma akramahunna illa karim), dan pelanggaran terhadap wasiat Nabi SAW untuk berbuat baik terhadap perempuan (istawshu bin nisa’i khairan). Lebih dahsyat lagi, mereka yang memukul isterinya, dijuluki oleh Nabi SAW sebagai orang-orang yang jahat dan busuk (laysa ula’ika bi khiyarikum). Memukul isteri, apapun alasannya, adalah bertentangan dengan anjuran, harapan, dan perilaku sehari-hari Nabi SAW terhadap para isterinya. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa pemukulan bukanlah solusi tepat bagi pendidikan, apalagi pendidikan bagi orang dewasa, seperti isteri. Oleh karena itu, wajar apabila Nabi saw dalam banyak kesempatan sering menyindir orang-orang.
Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah berkata, bahwa kakeknya bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Kamu berhak menggauli isterimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Sunan Abu Dawud, Lihat: Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun adalah tindak kedzaliman yang diharamkan dan bertentangan dengan prinsip kerahmatan. Untuk mereduksi kejahatan kekerasan ini, Islam menawarkan konsep keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Pada relasi
suami-istri misalnya, Islam menegaskan konsep ‘pasangan’ atau zawaj, yang satu adalah pakaian bagi yang lain: melengkapi, menutupi, menentramkan dan membahagiakan. Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang oleh ajaran Islam.
Kekerasan Bukan Media Pendidikan. Dalam beberapa buku fiqh, terutama yang membicarakan secara khusus mengenai hak dan kewajiban suami-istri, ada penegasan bahwa seorang suami diperbolehkan memukul istri, ketika terjadi kasus-kasus tertentu; seperti nusyuz, meninggalkan kewajiban agama, berbuat kemungkaran, atau melakukan sesuatu yang mencederai martabat suami. Pemukulan ini diperbolehkan sebagai media pendidikan, bukan sebagai hak mutlak yang kapan pun dan di mana pun bisa dilakukan suami.
Kebolehan ini didasarkan pada ayat 34 dan surat an-Nisa dan beberapa teks hadits. Di antaranya, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Jika si istri melakukan perbuatan keji yang nyata, maka kamu (suami) bisa melakukan sesuatu terhadap mereka, dengan meninggalkan tidur bersama mereka, atau memukul yang tidak mencederai. Jika mereka taat kepadamu (tidak lagi melakukan perbuatan keji itu), maka janganlah kamu mencari-cari alasan (untuk berbuat aniaya) terhadap mereka”. (Riwayat Muslim, Lihat: Ibn al-Atsir, juz VII, hal. 328-329, no. hadits: 4716)
Dalam Mazhab Hanafi, seperti dikatakan Syekh Abdul Qodir ‘Audah, pemukulan hanya diperbolehkan jika seorang suami sudah melakukan tahapan-tahapan; memberi nasihat dan berpisah ranjang. Dia tidak diperkenankan menggunakan media pemukulan, langsung tanpa diawali dengan nasihat baik. Jika suami melakukannya, maka ia telah melampaui batas, berdosa dan bisa diminta pertanggung-jawaban atau diajukan ke pengadilan. Pemukulan juga tidak diperkenankan sampai mencederai dan atau melukai tubuh perempuan. Karena pemukulan yang seperti ini, bukanlah pemukulan sebagai media pendidikan, tetapi sudah merupakan penyiksaan. Karena itu, bisa diajukan ke pengadilan. (lihat: Abdul Qadir ‘Audah; at-Tasyri’ al-Jinai’ fi at-Tasyri’ ai-Islami, juz I, halaman 413-418).
Sebelumnya, Imam ‘Atha - (w. 126 H / 744 M) salah seorang ulama pada masa tabi’in - berpandangan bahwa memukul istri itu hukumnya makruh dan tidak patut untuk dijadikan media pendidikan; apapun alasan yang ada di benak suami. Pandangan ini didasarkan pada teks-teks hadits yang secara eksplisit melarang seseorang memukul perempuan. (Lihat: Ibn ‘Arabi, Ahkim al-Qur’an, Juz I, hlm. 420) . Dan ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, seorang ulama besar pemimpin Jaini’ah Zaitunah Tunisia, menyatakan bahwa wewenang memukul istri diberikan kepada suami demi kebaikan kehidupan rumah tangga. Ketika pemukulan tidak lagi bisa efektif untuk memulihkan kehidupan rumah tangga yang baik, maka wewenang itu bisa dicabut. Bahkan, pemerintah bisa melarang tindakan pemukulan itu dan menghukum mereka yang tetap menggunakan pemukulan sebagai media pemulihan hubungan suami-isteri.

2.5.    Teologi Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Jika melihat kekerasan sebagai kekerasan, apalagi dampak yang diakibatkan, hampir bisa dipastikan semua orang menolak dan menganggapnya sebagai suatu kejahatan kemanusiaan. Dalam bahasa agama Islam, kekerasan adalah suatu kedzaliman dan kemudharatan yang pasti diharamkan. Kekerasan adalah tindakan menyakiti, mencederai dan membuat orang lain berada dalam kesulitan. Dan semua ini adalah haram.
Perbincangan akan berbeda jika kekerasan dilakukan sebagai alat pertahanan dan serangan, atau sebagai media pendidikan dan seseorang yang dinobatkan sebagai pendidik kepada seseorang yang dijadikan sebagai anak didik. Peperangan misalnya, sebagai suatu kekerasan yang paling dahsyat, banyak memperoleh legitimasi jika merupakan pertahanan dan serangan atau kemungkinan suatu penyerangan. Sekalipun, tidak sedikit juga yang saat ini mempertanvakan efektifitas peperangan untuk membangun peradaban perdamaian. Sementara kekerasan verbal dan atau fisik, saat ini masih banyak diadopsi oleh negara terhadap rakyat, orang tua terhadap yang lebih muda, guru terhadap murid, pelatih terhadap yang dilatih, atau suami terhadap istri, semua dengar alasan untuk mendidik. Sekalipun, tentu saja sudah sedemikian banyak yang menentang media kekerasan sebagai pendidikan.
Logika pertahanan, nampaknya tidak relevan dijadikan dasar untuk memahami fenomena kekerasan yang dialami perempuan. Karena dalam masyarakat kebapakan, hampir tidak ada anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang mengancam dan akan menyerang, sehingga seseorang perlu mempertahankan diri dengan menyerang melakukan kekerasan terlebih dahulu kepada perempuan. Bisa dipastikan, bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan, tidak bisa dipahami sebagai strategi pertahanan. Karena itu, hampir tidak bisa ditemukan, pandangan keagamaan yang membolehkan tindakan tertentu yang bisa berupa kekerasan terhadap perempuan, dengan alasan pertahanan diri dan serangan.
Yang lazim diperbincangkan adalah bahwa perempuan harus dididik sekalipun pada akhirnya dengan media kekerasan untuk selalu berada pada nilai-nilai keluhuran. Pada konteks relasi suami-istri misalnya, perempuanlah yang harus diluruskan suami agar kembali pada keutuhan perkawinan. Perempuan dididik, diberi nasihat, dipisah dari ranjang atau kamar, dihardik bahkan boleh dipukul; agar mereka tetap patuh dan berada pada kehidupan perkawinan ideal. Asumsinya, perempuanlah yang bersalah, karena itu harus diberi pelajaran oleh suami. Padahal, bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya. Suami yang menjadi penyebab. Tetapi pada konteks ini, perempuan tidak punya wewenang untuk mendidik dengan media kekerasan. Marah atau suara keras pun tidak diperkenankan. Mungkin perempuan hanya boleh memberi nasihat lalu kemudian bersabar.
Dengan demikian, membicarakan fenomena Kekerasan yang menimpa perempuan bisa dijelaskan dalam dua pembahasan. Pertama, kekerasan sebagai tindak kedzaliman dan kemudharatan. Dan ini diharamkan secara bulat oleh seluruh ulama Islam. Kedua, kekerasan sebagai media pendidikan. Dan ini yang perlu didiskusikan lebih lanjut dengan perspektif yang lebih memihak kepada perempuan.
Kekerasan adalah Kedzaliman. Secara prinsip, Islam adalah agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti kepada diri sendiri atau kepada orang lain; baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh. Secara konseptual, misi utama kenabian Muhammad SAW adalah untuk kerahmatan bagi seluruh alam. Kekerasan, sekecil apapun bertentangan secara diametral dengan misi kerahmatan
yang diemban. “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)
Prinsip kerahmatan ini secara konseptual menjadi dasar peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika da1am bangunan etika dalam berelasi antar sesama. Seperti perlunya berbuat baik, memberikan manfaat, saling membantu, pengaharaman menipu, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap segala bentuk keczaliman. Bentuk-bentuk kekerasan apapun bisa dikategorikan sebagai tingakan kdzaliman, yang bertentangan dengan misi kerahmatan.
“Tidak (demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka sedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah [2] :112)
‘Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raf [7];56)
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih”. (Q.S. asy-Syura [42]: 42)
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan kedzaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling mendzalimi satu sama lain.” (Hadis Qudsi, Sahih Muslim, kitab al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. Hadits: 4674)
“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara satu dengan yang lain, karena seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak diperkenankan mendzalimi, menipu, atau melecehkannya.” (Sahih Muslim, no. hadits: 2564)
Prinsip kerahmatan dan anti kedzaliman menjadi basis dan relasi sosial dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya, segala tindak kekerasan seseorang terhadap yang lain adalah haram. Sebaliknya, setiap orang harus saling berbuat balk dan membantu satu sama lain. Yang kuat, misalnya, membantu yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin, yang berilmu memberikan ilmu kepada yang tidak berilmu dan seterusnya. Prinsip ini juga menjadi basis bagi ajaran mengenai hubungan suami dan isteri. Karena itu, al-Qur’an mengumpamakan keduanya laksana pakaian bagi yang lain. Suami adalah pakaian bagi isteri. Begitu juga sebaliknya, isteri adalah pakaian bagi suami. Sebagaimana pakaian, yang satu adalah pelindung bagi yang lain. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan oleh pihak yang satu terhadap yang lain, karena kesewenang-wenangan adalah tindakan biadab yang mencederai prinsip kerahmatan Islam dan konsep pasangan suami-istri yang digariskan al-Qur’an.
Secara tegas, surat an-Nisa ayat 19 menegaskan pentingnya berbuat baik antara suami dan istri ban surat ath-Thalaq ayat ke-6 melarang keras perlakuan kekerasan, kemudharatan terhadap istri, termasuk
mempersempit ruang gerak mereka. Perintah berbuat balk dan larangan kekerasan terhadap perempuan, juga bisa kita jumpai dalam banyak wasiat Nabi Muhammad SAW.
Dan Amr bin al-Ahwash ra, bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW pada Haji Wada’ bersabda setelah mengawali dengan hamdalah, nasehat-nasehat dan kisah, baginda bersabda: “Ingatlah, aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian, padahal kalian tidak berhak atas mereka, kecuali berbuat baik”.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling sempurna imannya di antara kamu, adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang terbaik di antara kamu, adalah mereka yang berbuat baik terhadap istri mereka”. (Sunan at-Turmudzi, kitab Ar-radha’, bab ma ja’a fi haqq al-mar’ah ‘ala zawjiha)

2.6.    Relasi Suami-Istri dalam Rumah Tangga
Kehidupan rumad tangga adalah dalam kontes menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah SWT. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dan yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah [9]: 1)
Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki Kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. an-Nisa [4]: 19: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dan apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah denqan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 19) Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli istri—lstri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; mernperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.
Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak Dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman. Wallahu’alam bi shawab.



BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
1.        Kekerasan yaitu tindakan-tindakan kriminalitas (jarimah) yang terjadi pada seseorang. Pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tidakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.

2.        Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan
-          faktor individu, dengan tidak adanya ketakwaan kepada Allah bisa mendorong seseorang melanggar hukum syara’.
-          Faktor sistemik yaitu berupa berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiah dan menafikan perlindungan atas eksistensi manusia.

3.        Beberapa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Islam
1)      Qadzaf, yakni melempar tuduhan
2)      Membunuh, yakni menghilangkan nyawa seseorang
3)      Mensodomi yakni menggauli wanita pada duburnya
4)      Penyerangan terhadap anggota tubuh
5)      Perbuatan-perbuatan cabul
6)      Penghinaan.

4.        sebagai umat Islam kita harus menjadikan Nabi SAW sebagai teladan (uswah hasanah) semestinya tidak pernah berpikir untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi lakukan, tidak membiarkan siapapun untuk memukul perempuan seperti yang tidak pernah Nabi biarkan, apalagi menganjurkan pemukulan dengan alasan dalil agama. Nabi tegas memandang mereka yang memukul perempuan sebagai orang yang tidak bermoral.



DAFTAR PUSTAKA


Arif, Rudyanto. 2006. Pandangan Islam terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://.www.mail.archieve.com/wanita.muslimah@yahoo group.com/msg/4828.html
Ma’ruf, Farid. 2008. kekerasan Terhadap Wanita. http://baitijanati.wordpress.com/2008/01/14/kekerasan_terhadap_wanita_Bukan_Perkara_gender
Munir, Lili Zakiyah. 2007. Stop Kekerasan Terhadap Perempuan. http://www2.kompas.com/kompas_cetak/0511/26/swara/222846/.html
Syahputra, Akmaluddin. 2008. Kajian hukum Islam dan Hukum Positif tentang Tindak Kekerasan Suami terhadap Istri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar